Kolom Budaya

AIDILFITRI HARI BAHAGIA

AIDILFITRI HARI BAHAGIA

Dr. H. Abdul Malik, S.Pd., M.Pd.

 

AIDILFITRI, bagi umat Islam sedunia tanpa membedakan status sosial-budaya dan sosial-ekonominya, disambut dengan penuh suka cita. Rasa suka cita itu memunculkan pula perasaan bahagia yang tiada bertara. Kebahagiaan itu mewujud bukan karena kita telah selesai menunaikan ibadah puasa wajib selama sebulan penuh pada Ramadan. Soal berpuasa itu, setelah Ramadan, masih banyak umat Islam yang menunaikan ibadah puasa sunat Syawal selama enam hari (puasa enam). Selain itu, ada banyak lagi umat Islam yang melaksanakan puasa sunat Senin dan Kamis sepanjang tahun dan pelbagai jenis puasa sunat lainnya. Bukan pula karena pada Aidilfitri kita dapat memamerkan segala kemewahan yang kita miliki kepada orang lain. Bukan, karena ada sangat banyak umat Islam yang merayakan Aidilfitri dengan cara yang amat sederhana sesuai dengan keyakinan mereka bahwa yang terbaik di dalam hidup ini adalah kesederhanaan, bukan bermewah-mewah, bermegah-megah, dan berfoya-foya.

 

Aidilfitri dalam tamadun kita biasa disebut sebagai Hari Raya, sebuah ungkapan dalam tamadun Melayu yang diadopsi secara utuh oleh bahasa Indonesia (masih jugakah hendak berbantah-bantah dengan mengatakan bahwa bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu? Jika masih mau, tak tahulah kita kebebalan apakah yang melatarinya. Atau, jika tak mau kalah dalam dunia “persilatan lidah”, silalah dicari ungkapan pengganti untuk bahasa Indonesia yang sepadan maknanya dengan Hari Raya yang berasal dari bahasa Melayu). Hari Raya itu merupakan subordinat dari hari besar, tetapi memiliki keistimewaan karena berkaitan dengan nilai religius. Itulah sebabnya, Hari Raya tak dapat dipertukarkan tempatnya dengan hari besar walaupun Hari Raya itu memang salah satu hari besar. Karena Aidilfitri itu adalah Hari Raya-lah kedudukannya menjadi istimewa bagi umat Islam sehingga harus disambut dengan perasaan bahagia. Apakah keistimewaan Aidilfitri itu sehingga perasaan kita begitu bahagia?

 

Betapakah kita tak akan bahagia? Kita telah berjaya melawan hawa nafsu selama sebulan penuh dalam ibadah puasa Ramadan, yang memang disediakan khusus oleh Allah Yang Maha Pengasih bagi umat Islam yang beriman. Dengan telah melaksanakan ibadah puasa wajib itu secara benar, kita dijamin kembali menjadi suci seperti bayi yang baru lahir dan mudah-mudahan kualitas ketakwaan kita kepada Sang Khalik pun menjadi meningkat pula. Jadilah kita manusia baru dengan kualitas prima, zahir dan batin, sehingga dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab kita sebagai manusia, baik tugas keduniaan maupun tanggung jawab keakhiratan, dengan semangat baru setelah Ramadan berlalu. Oleh sebab itu, memahami dan menghayati Hari Raya Aidilfitri sebagai hari bahagia menjadi sah adanya.

 

Ada yang lebih mustahak lagi alasan kita bersuka cita dan berbahagia pada Aidilfitri. Hari Raya Aidilfitri itu jatuh pada Syawal. Bermaknakah Syawal? Tentu saja dan maknanya sangat elok yaitu ‘peningkatan’. Dengan demikian, setelah ditempa, diuji, sekaligus dihadiahi dalam ibadah puasa sebulan penuh pada Ramadan, umat Islam yang beriman—yang mudah-mudahan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan dapat menyandang predikat ‘bertakwa’—diisyaratkan oleh Allah s.w.t. untuk meningkatkan kualitas dirinya selama sebelas bulan berikutnya sampailah bertemu kembali dengan Ramadan berikutnya.

 

Kualitas diri seperti apakah yang meningkat dimulai dari Syawal itu? Jawabnya, kualitas keimanan, kualitas ketakwaan, kualitas kebaikan sebagai manusia, dan pelbagai mutu positif manusia sebagai makhluk ciptaan Ilahi, umumnya. Sebagai contoh, jika sebelum ini Si Fulan dikenal sebagai seorang yang cenderung tak selari antara perkataan dan perbuatannya, tak selaras antara ajaran agama yang dianutnya dan perangainya, tak seimbang pendidikan, pangkat, dan jabatannya dengan perilakunya, maka jika ibadah puasa Ramadan telah mengantarkan dia ke predikat bertakwa, semua perangai buruk itu berubah seratus persen, dari tak seirama antara kegiatan ibadah dan perangai menjadi sejalan benar: bagus kualitas ibadahnya elok pula perangainya. Oleh sebab itu, berjaya atau tidaknya seseorang memperoleh predikat bertakwa dari pelaksanaan ibadah puasa Ramadan—dengan demikian, ibadah-ibadah Ramadannya diterima oleh Allah—dapat diukur dari peningkatan kualitas kebaikan diri dimulai sejak Syawal. Jadi, mustahaknya Syawal yang Aidilfitri jatuh pada hari pertamanya itulah yang juga menyebabkan Hari Raya Aidilfitri mesti disambut dengan penuh bahagia dan suka cita.

 

Sebagai lazimnya hari bahagia, pada Hari Raya Aidilfitri kita pun bersuka-ria. Walaupun begitu, Islam mengajarkan kita agar tak berlebih-lebihan dalam merayakannya. Dalam hal ini, berpada-pada dan bersikap sederhana jauh lebih baik daripada memamerkan segala kelebihan dunia kita kepada orang lain. Jangan sampai terjadi bersuka-ria berubah menjadi berlaku ‘riya’, yang pasti sifat dan sikap yang disebut terakhir itu tak disukai oleh Allah s.w.t. Sesuatu yang jauh dari perkenan-Nya tentulah membawa mudarat, bahkan menjadi indikator rendahnya kualitas ibadah puasa Ramadan kita yang secara kasat mata dapat diamati oleh manusia.

 

Kebiasaan tetaplah kebiasaan walau kadang-kadang kebiasaan itu tak berakar dari dan dalam tamadun kita. Masih banyak terlihat gejala kebiasaan menyambut Aidilfitri dengan mengadopsi tamadun Barat. Umumnya mereka dari kalangan atas, entah di daerah ataupun di pusat, meminjam kategori atau strata pemerintahan.

 

Yang saya maksudkan adalah ini. Mereka yang terbiasa dengan tradisi open house masih terlihat meng-open house-nya. Kemeriahan lahiriahnya masih terasa, terutama oleh orang lain, baik orang dekat maupun orang jauh. Bedanya, para tamunya—termasuk orang-orang yang mempunyai perhubungan rapat dengannya sebelum ini—ada yang terkesan enggan bersalaman berlama-lama dan bungkuk hormatnya pun agak dikurangi untuk kemudian berlalu mencari tempat duduk yang agak jauh. Jika perlu, tak terlihat oleh khalayak, menyuruk! Karena apa? Karena si tamu khawatir dilibatkan dengan peristiwa pemilihan umum kepala daerah serentak yang genderangnya telah mulai ditabuhkan. Pasalnya, kepala daerah yang sedang menjabat bertarung lagi dan lawannya tiada lain adalah wakilnya yang hendak menjadi kepala daerah pula, entah di provinsi ataupun di kabupaten/kota, di mana-mana di seluruh Indonesia.

 

Dilemanya pada si tamu, yang bawahan mereka berdua (kepala daerah dan wakilnya). Tak datang sama sekali di satu tempat, di house kepala daerah misalnya, si tamu tak pula berani sebab mana tahu ternyata Sang Bos terpilih kembali. Jika nasib baik berpihak pada Sang Bos, ketakhadiran pada acara open house boleh jadi berakibat fatal bagi karir si tamu yang anak buah Sang Bos selama ini. Begitu pulalah halnya yang terjadi di house wakil kepala daerah. Jadilah terlihat permainan kucing-kucingan dalam acara open house. Karenah manusia memang ada-ada saja, yang kadang-kadang agak menggelikan, tak peduli selesai berpuasa, bahkan pada Hari Raya Aidilfitri yang mulia. Begitulah akibatnya jika politik praktis sampai menelikung ke ruang-ruang keagamaan yang semestinya membahagiakan. Semuanya jadi serbasalah, serbatakkena, serbatakselesa, serbataknyaman jadinya.

 

Open house bukan tradisi rakyat jelata. Rakyat akrab dengan tradisi silaturrahim, kunjung-mengunjungi, terutama pada Hari nan Fitri ini. Di situ pun ada kabar duka bercampur suka. Dan, ini juga berita sebenarnya pada Hari Raya tahun ini.

 

Sebagai manusia biasa, biasanya kita berharap hari bahagia itu tak terusik. Artinya, semua keinginan kita untuk ber-Hari Raya dan berbahagia bersama keluarga, kerabat, dan sahabat dapat berlangsung seperti yang diinginkan. Itulah harapan kita, tetapi tak jarang terjadi harapan itu tak terpenuhi atau sekurang-kurangnya tak semuanya sesuai dengan yang kita dambakan. Itulah sebabnya, Hari Raya Aidilfitri berpotensi juga untuk membawa kabar duka jika kita tak berhati-hati, di samping berita suka.

 

Inilah berita suka yang teramat suka kita akan berkahnya. Pada Aidilfitri kali ini semua umat Islam Indonesia secara serentak dan serempak mengawali 1 Syawal 1436 H. pada Jumat bersamaan dengan 17 Juli 2015 M. Bahkan, umat Islam negara-negara tetangga terdekat seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam pun, sekadar menyebut beberapa contoh, merayakannya pada hari yang sama. Dengan demikian, apa pun organisasi Islam yang menaungi umat Islam di kawasan ini, kita berketetapan hati dan bersatu keyakinan bahwa Salat Ied dilaksanakan pada Jumat, 17 Juli 2015.

 

Jadilah Salat Ied tahun ini begitu akbar di seluruh nusantara. Jika pada tahun berbeda kita beroleh berkah perbedaan penetapan jatuhnya 1 Syawal, tahun ini kita mendapatkan berkah kebersamaan yang sungguh membahagiakan. Kebahagiaan itu lebih-lebih dirasakan oleh masyarakat, yang memang paling mendambakan kebersamaan, apatah lagi dalam merayakan hari besar keagamaan seperti Hari Raya Aidilfitri ini. Mudah-mudahan, hikmah kebersamaan itu pulalah yang menyertai kita dalam pelbagai perjuangan hidup yang kita laksanakan ke depan ini, yang memang disediakan oleh Allah s.w.t. sebagai hari-hari peningkatan asal kita mau mengupayakannya. Ruangnya telah disediakan oleh Tuhan, tinggal terpulang kepada kita hendak memanfaatnya atau tidak.

 

Di kalangan masyarakat kita Hari Raya Aidilfitri tahun ini pun masih merekamkan suka tetapi juga duka tradisi balik kampung (mudik). Jutaan masyarakat kita kembali ke kampung halaman untuk berlebaran bersama keluarga dan handai-taulan, baik dari tempat bekerja di dalam negeri maupun luar negeri. Cahaya kegembiraan dan kebahagian begitu ketara di wajah mereka. Setelah setahun atau, bahkan bertahun-tahun berpisah, kinilah saatnya berjumpa kembali dengan sanak keluarga pada hari bahagia. Malangnya, di antara mereka ada juga yang tak sampai ke kampung halaman, bahkan tak dapat ber-Hari Raya di dunia yang fana ini. Ajal ternyata lebih dulu menjemput mereka di perjalanan karena mengalami kecelakaan lalu lintas. Ada juga di antaranya yang hanya cedera berat atau ringan, tetapi tak sampai meninggal. Bagaimanapun kecelakaan itu, walau tak sampai membawa maut, tetaplah mendatangkan duka pada Hari Raya.

 

Berhubung dengan tradisi mudik yang memang baik itu jika niatnya murni untuk berkumpul bersama keluarga, kerabat, sahabat, dan lebih-lebih menjenguk ibu dan ayah di kampung halaman kalau mereka masih hidup, sepatutnya mendapat perhatian ekstra dari pemerintah. Mudik ke kampung halaman yang jaraknya sangat jauh dari tempat bekerja, misalnya, dengan mengendarai sepeda motor lebih baik dilarang saja. Bukankah data statistik menunjukkan bahwa pemudik dengan sepeda motorlah yang paling banyak mengalami naas di jalan raya?

 

Menurut hemat saya, jikalau berbahaya, sangat tepat pemerintah melarangnya untuk kepentingan rakyat juga. Bersamaan dengan pelarangan itu, pemerintah tentulah harus mencarikan solusi kendaraan darat yang aman sehingga keinginan masyarakat untuk balik kampung pada Hari Raya dapat dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Fakta berbahayanya mudik dengan sepeda motor itu pada tahun ini dapat saya saksikan dengan mata kepala saya sendiri. Pasalnya, tahun ini saya berkesempatan melakukan perjalanan Aidilfitri dengan kendaraan darat di Pulau Sumatera, menelusuri jalan-jalan tiga provinsi: Riau—Sumatera Barat—Sumatera Utara.

 

Anehnya lagi karenah manusia. Walau telah disebutkan tadi bahwa Syawal merupakan awal peningkatan kualitas manusia, ternyata tetap saja ada orang-orang yang mengambil kesempatan berbuat kejahatan, yang berdampak pada menurunnya kualitas dirinya. Kala banyak warga melakukan perjalanan mudik Aidilfitri ke kampung halaman dengan meninggalkan rumah dalam keadaan tak berpenghuni, mereka yang memilih jalan kiri kehidupan mengintainya dengan seksama. Pada saat yang tepat dia atau mereka memasuki rumah yang ditinggalkan sementara oleh penghuninya itu dengan pelbagai cara dan menjarah isinya, terutama uang dan atau barang-barang berharga jika ada.

 

Kebetulan tahun ini rumah saya menjadi salah satu rumah di antara sekian rumah saudara-saudara kita yang mendapat giliran dikunjungi oleh tamu yang tak diundang itu. Sejalan dengan bulan yang baik lagi mulia ini, saya telah mengikhlaskannya dan saya mengarifinya sebagai ujian kesabaran bagi saya sekeluarga.

 

Walaupun begitu, kepada pelakunya, kalau boleh, hendak juga saya bernasihat. Mulai hari baik bulan baik ini, tinggalkanlah perilaku yang tak terpuji itu, bertaubatlah Saudaraku! Mencuri itu perbuatan dosa, betapapun besar-kecilnya dan apa pun alasannya. Ganjarannya adalah neraka, dan itu memang telah menjadi ketentuan Ilahi. Seberat apa pun ujian kehidupan yang kita alami di dunia ini, pilihlah jalan yang diridai oleh Allah untuk mengatasinya. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jika kita mengikuti petunjuk-Nya, jalan kebaikan pasti dianugerahkan-Nya. Janganlah sampai penderitaan hidup, apatah lagi gaya hidup, menyebabkan kita nekat melawan Tuhan. Pasalnya, kita yang makhluk ini tak akan pernah sanggup menentang-Nya.

 

Akhirnya, bersempena Hari Raya Aidilfitri ini saya dan keluarga mengucapkan, “Minal aidin walfaizin. Mohon maaf zahir dan batin. Semoga hari-hari ke depan ini makin baik dan indah untuk kita jalani. Salam Aidilfitri!”***