Kolom Budaya

DARI PENYENGAT UNTUK INDONESIA

DARI PENYENGAT UNTUK INDONESIA
Dr. H. Abdul Malik, S.Pd., M.Pd.

malik-tanjak-194x300PERINGATAN Hari Pers Nasional (HPN) 2015 yang diselenggarakan beberapa bulan yang lalu dipusatkan di Provinsi Kepulauan Riau. Dari rangkaian acara yang dilaksanakan, Panitia HPN juga menyelenggarakan Konvensi Bahasa dan Budaya dengan tema besar “Menjadikan Penyengat sebagai Warisan Dunia.” Konvensi dilaksanakan pada Jumat, 6 Februari 2015, di Gedung Daerah, Tanjungpinang.

Pada hari yang sama perjuangan untuk menjulangkan Pulau Penyengat Indera Sakti menjadi Warisan Dunia (World Heritage) mulai digaungkan bersempena Puncak Peringatan HPN 2015 itu. Pada perhelatan akbar insan pers sepersada nusantara itu pula dideklarasikan dua hal penting. Pertama, bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau-Lingga (Kepulauan Riau). Kedua, Pulau Penyengat Indera Sakti diusulkan untuk segera diperjuangkan menjadi Pulau Warisan Dunia. Deklarasi itu dibacakan di Pulau Penyengat Indera Sakti, tepatnya di depan Masjid Sultan Riau, sehingga disebut juga Deklarasi Penyengat.

Pulau Penyengat Indera Sakti dan Kesultanan Riau-Lingga memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi negara dan bangsa kita. Hadiah berharga utama Kesultanan Riau-Lingga atau Kepulauan Riau, khususnya Pulau Penyengat Indera Sakti (The Island of Mars atau Peningat of Mars, dua nama terakhir itu merupakan penyebutan oleh orang Inggris untuk Pulau Penyengat) kepada Indonesia tercinta adalah bahasa nasional. Hal itu dimungkinkan karena pembinaan dan pengembangan bahasa Melayu tinggi (baku) telah dilakukan secara intensif di pulau nan comel itu dengan manajemen modern pada abad ke-19, jauh sebelum adanya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di negara kita. Dari kerja keras dan mulia itu telah dihasilkan karya-karya linguistik meliputi tata bahasa, ejaan, dan kamus (Raja Ali Haji), etimologi (Haji Ibrahim), morfologi dan semantik (Raja Ali Kelana), dan pelajaran bahasa (Abu Muhammad Adnan). Bahkan, Raja Ali Haji dan Haji Ibrahim turut mengerjakan kamus dwibahasa: Melayu Belanda dan Belanda-Melayu bersama H. von de Wall.

Karena upaya pengembangan dan pembinaan bahasa Melayu yang dikelola secara modern dan baik itu, karya-karya mereka menjadi begitu istimewa dibandingkan dengan karya-karya para penulis Melayu di kawasan lain yang tak menghasilkan karya ilmu bahasa. Pada masa itu telah dilakukan upaya pembakuan bahasa Melayu. Alhasil, bahasa Melayu tinggi Riau-Lingga itu menjadi yang paling terkemuka di antara dialek Melayu yang ada di nusantara ini. Atas dasar itulah, bahasa Melayu baku Riau-Lingga (Kepulauan Riau) yang dibina di Pulau Penyengat Indera Sakti diangkat menjadi bahasa Indonesia, yang berkedudukan sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara Republik Indonesia, bahkan menjadi bahasa nasional negara-negara ASEAN yang lain: Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Tamadun Melayu Riau-Lingga juga telah menyumbangkan khazanah kesusastraannya kepada negara kita tercinta ini. Pelbagai genre kesusastraan yang dibina dan telah berkembang lama di kawasan ini sekaligus telah bersebati dengan kesusastraan nasional. Jenis-jenis kesusastraan seperti mantra, pantun, hikayat, syair, gurindam, dan peribahasa dengan pelbagai variasinya secara otomatis menjadi bagian dari kesusastraan Indonesia. Jenis kesusastraan itu pun menjadi dasar bagi bertumbuh dan berkembangnya kesusastraan modern Indonesia.

Tak kurang pentingnya khazanah tamadun Melayu berupa seni pertunjukan yang terbina sejak Kesultanan Riau-Lingga. Di dalam kelompok khazanah itu adalah seni vokal (pelbagai lagu Melayu), seni musik, seni peran atau teater (Makyong, Mendu, Teater Bangsawan, boria, dan zikir barat), dan seni tari.

Seni terapan warisan Riau-Lingga juga bernilai budaya yang sangat tinggi. Di antaranya yang berkembang di daerah ini adalah songket Melayu, tudung mantur, batik Melayu, kain telepok, arsitektur tradisional Melayu, ragam hias Melayu, dan sebagainya. Warisan budaya itu juga sangat penting artinya bagi bangsa kita.

Inilah sumbangan berikutnya: nilai-nilai budaya dan norma berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, dua kebudayaan utama Indonesia memang telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan yaitu budaya Jawa dan budaya Melayu. Adab sopan-santun Melayu yang mengutamakan kehalusan budi menjadi salah satu rujukan dalam pergaulan hidup bangsa kita. Itu dimungkinkan karena pada zaman Kesultanan Riau-Lingga persoalan ini mendapat perhatian utama dari para penguasa semasa sebagai bagian dari pembinaan tamadun bangsa. Perhatikanlah kata-kata bahasa Melayu yang bermakna ‘duduk’, misalnya. Di dalamnya ada bersila, bersimpuh, berlunjur, mencangkung (jongkok), dan berjuntai. Nuansa makna kata-kata itu menunjukkan perbedaan perilaku ikutannya, sesuai dengan patutnya, yang harus diikuti dalam pergaulan hidup sehari-hari.

Dalam majelis yang beradat lagi beradab, laki-laki hanya boleh bersila dan dalam kedudukan yang sama perempuan hanya boleh bersimpuh. Dalam konteks itu, laki-laki jangan coba-coba bersimpuh kalau tak mau disebut pondan atau banci dan perempuan jangan pula bersila jika tak hendak disebut macam jantan. Dalam peristiwa yang sama, tak seorang pun boleh berlunjur, berjuntai, apa lagi mencangkung. Silalah berlunjur ketika bersembang dengan kawan seumur, berjuntai tatkala bersantai-santai, atau mencangkung waktu merenung setengah termenung. Itulah sebabnya, bangsa Indonesia pernah sangat disegani oleh bangsa lain karena dinilai sebagai satu di antara bangsa yang paling sopan di dunia.

Pelbagai jenis makanan tradisional Melayu ternyata sangat digemari oleh bangsa kita secara nasional, pun bangsa asing. Sebutlah nasi minyak, nasi dagang, nasi lemak, bubur pedas, bubur berlauk, gulai asam pedas dengan pelbagai versi rasanya, gulai kormak, gulai kari, otak-otak, laksa, roti kirai (roti jala), roti canai, pelbagai kue tradisional Melayu, dan minuman khas anekarasa senantiasa dicari oleh para pelancong domestik dan mancanegara yang berkunjung ke Kepulauan Riau. Beraneka ragam makanan dan juadah itu, baik kering maupun basah, tak hanya dijadikan buah tangan, tetapi lebih-lebih menjadi “buah mulut” yang menaikkan selera bersantap mereka.

Sistem pemerintahan berotonomi luas kali pertama diterapkan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812). Otonomi itu mulai diberlakukan ketika Baginda memindahkan pusat pemerintahan dari Hulu Riau di Pulau Bintan ke Daik di Pulau Lingga pada 1787. Dalam hal ini, pemimpin daerah otonomi yang berada di bawah pemerintahan Yang Dipertuan Muda (Pulau Penyengat dengan seluruh daerah takluknya sampai ke Pulau Tujuh), Temenggung (Johor dan Singapura), dan Bendahara (Pahang dan daerah takluknya) diberi wewenang penuh untuk mengelola dan mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensinya masing-masing. Dalam pada itu, Sultan mengelola pembangunan pusat kesultanan di Lingga. Baginda baru berkoordinasi dengan para bawahannya dalam hal-hal penting seperti perang, pengangkatan pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, penyelesaian perselisihan internal, dan sebagainya. Karena tak biasa diterapkan dalam sistem monarki absolut, ada peneliti terheran-heran dan menganggap aneh kebijakan Sultan Mahmud Riayat Syah itu. Kenyataannya, penerapan sistem pemerintahan berotonomi luas itu menyebabkan perekonomian Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (nama lengkap kerajaan itu sebelum Johor, Pahang, dan Singapura berpisah dengan kita) maju pesat kala itu sehingga rakyat sejahtera dan negari pun makmur secara merata.

Sekarang sistem pemerintahan berotonomi itu pun diterapkan di Indonesia, sesuatu yang telah dilakukan oleh Kesultanan Riau-Lingga lebih dari 200 tahun yang lalu. Sayangnya, yang diterapkan pemerintah kita kini bukanlah otonomi luas seperti yang dilakukan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah sehingga hasilnya pun jauh dari optimal, yang pada gilirannya banyak menimbulkan kekecewaan bagi daerah-daerah.
Para cendekiawan Riau-Lingga juga telah melakukan kajian-kajian perintisan ilmu-ilmu modern. Di antara ilmu itu adalah (1) linguistik, (2) politik, (3) hukum, (4) pemerintahan, (5) astrologi, (6) kedokteran, (7) sejarah, (8) filsafat, (8) jurnalistik, dan sudah barang tentu (8) ilmu agama (Islam).

Karya-karya awal itu amat penting artinya untuk melihat kesinambungannya dengan perkembangan masa kini, di samping nilai historisnya.
Kepeloporan juga ditunjukkan oleh karya-karya yang ditulis oleh Aisyah Sulaiman yang memperjuangkan emansipasi perempuan. Aisyah Sulaiman tak menuliskan pikiran, gagasan, dan pengalamannya dalam bentuk kumpulan surat. Akan tetapi, kesemuanya ditulisnya dalam empat buku syair naratif yang utuh dan memukau, tak ubahnya novel dalam sastra modern. Sesuai dengan visi dan pemikiran memartabatkan kaum perempuan yang diperjuangkannya, dengan karya-karyanya itu, cucu Raja Ali Haji itu patut mendapatkan gelar pahlawan emansipasi perempuan. Dan, dengan karya-karyanya itu, Aisyah Sulaiman pun sudah sepatutnya dinobatkan sebagai pelopor kesusastraan modern Indonesia.

Kaum perempuan yang membaca secara tunak karya-karya istri Khalid Hitam (Raja Khalid ibni Raja Hasan) itu pasti akan sangat bangga dilahirkan sebagai seorang perempuan. Menariknya lagi, Aisyah Sulaiman sampai akhir hayatnya terbukti sebagai istri yang sangat mencintai dan setia bangat terhadap suaminya. Segala godaan dari laki-laki yang ditujukan kepadanya setelah suaminya meninggal, ditepisnya secara sopan dan anggun. Padahal, semua laki-laki yang menggodanya berasal dari kalangan atas dalam ukuran tahta dan harta. Ketauladanan kesetiaan itu pun membuat nama beliau tetap bersinar sampai ke hari ini.

Kesultanan Riau-Lingga juga mewariskan semangat dan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan dalam perlawanan fisik terhadap penjajah. Di antara tokoh yang menjadi ikon kepeloporannya adalah Raja Haji Fisabilillah, YDM IV Riau-Lingga, dan Sultan Mahmud Riayat Syah, YDB Riau-Lingga. Raja Haji Fisabilillah telah memenangi Perang Riau dan menghancurkan pasukan musuh pada 6 Januari 1784. Akan tetapi, beliau dan Sultan Mahmud Riayat Syah tak puas kalau hanya berjaya menghalau Belanda dari kawasan Riau-Lingga. Matlamat akhirnya adalah menghalau Belanda dari nusantara. Untuk itu, beliau berhasil membangun koalisi nusantara, kecuali tak sempat berhubungan dengan para raja di Pulau Jawa. Dengan kekuatan itu disertai semangat juang yang tinggi, beliau memburu Belanda di sarang musuh, Teluk Ketapang, Melaka, dalam pertempuran yang sangat heroik. Takdir Allah, beliau syahid di medan juang pada 18 Juni 1784.

Sultan Mahmud Riayat Syah melanjutkan misi menghalau penjajah dari bumi nusantara. Baginda menggunakan strategi yang berbeda yaitu dengan menerapkan perang gerilya laut setelah terlebih dahulu memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Lingga. Alhasil, pada 1795 Inggris dan Belanda mengakui kekuasaan penuh Sultan Mahmud Riayat Syah dan kemerdekaan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Perang gerilya laut itu berlangsung pada 1787—1795, sekitar delapan tahun. Kepada musuh yang datang mengakui kedaulatan tanah airnya, Baginda hanya mengucapkan ungkapan basa-basi politik, “Terima kasih!” sebuah ungkapan yang menusuk jika musuh itu memahami sopan-santun Melayu. Sampai dengan mangkatnya (1812), Belanda tak pernah berhasil menyentuh Sultan Mahmud Riayat Syah walaupun mereka sangat bernafsu untuk menangkap, membuang, dan atau membunuh Baginda Sultan.

Pada 1885 para intelektual Kesultanan Riau-Lingga mendirikan organisasi Rusydiah Kelab yang berpusat di Pulau Penyengat Indera Sakti. Organisasi ini bergerak dalam bidang kebudayaan. Para pengurusnya terdiri atas kalangan intelektual yang berasal dari pelbagai daerah di nusantara, antara lain, Melayu, Bugis, keturunan Arab, dan Sumatera. Hasan Junus (2002:219), budayawan dan sastrawan ternama semasa hidupnya, menyebut kelompok itu sebagai kelompok penekan atau pressure group.

Dalam praktik perjuangannya, Rusydiah Kelab senantiasa mengeritik kebijakan Kompeni Belanda, bahkan, kebijakan sultan juga. Perselisihan sering terjadi antara mereka dan pejabat Kompeni Belanda. Tujuannya tiada lain untuk menghalau Kompeni Belanda dari nusantara. Media yang mereka gunakan untuk menyuarakan pikiran-pikiran perlawanan itu adalah berkala Al-Imam, yang telah dirancang pada 1896. Pada 1906 Al-Imam diterbitkan di Singapura. Jelaslah bahwa Rusydiah Kelab merupakan perintis pergerakan kebangsaan, yang didirikan lebih kurang 23 tahun sebelum berdirinya Budi Utomo di Jawa.

Pada 1906 didirikan Asy-Syarkah al-Ahmadiah atau Serikat Dagang Ahmadi di Pulau Midai, kawasan Pulau Tujuh, Kabupaten Natuna sekarang. Serikat dagang berbentuk koperasi ini mula-mula bergerak dalam bidang perdagangan kopra, yang kemudian meluaskan usahanya dengan mendirikan badan penerbit dan percetakan Mathba’at al-Ahmadiyah atau Al-Ahmadiah Press pada 3 Desember 1920 di Minto Road, Singapura. Dengan demikian, Serikat Dagang Ahmadi merupakan perintis koperasi di Indonesia.

Yang paling unik dari Pulau Penyengat adalah pulau mungil nan indah itu dijadikan maskawin (mahar) oleh Sultan Mahmud Riayat Syah untuk istri Baginda Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Bersamaan dengan itu, Sultan juga menggesa pembangunannya menjadi sebuah bandar (kota) baru yang lengkap dengan segala fasilitasnya kala itu. Setelah selesai dibangun Pulau Penyengat disebut juga Penyengat Bandar Riau. Di samping sebagai simbol keharmonisan perhubungan kekeluargaan antara Melayu dan Bugis di dalam kerajaannya, mahar yang istimewa itu tentulah menjadi bukti cinta-kasih sang suami kepada sang istrinya.

Keistimewaan Penyengat Indera Sakti itu menjadi sangat berbeda karena hanya ada satu-satunya di dunia. Tak pernah tercatat di dalam sejarah bangsa mana pun sampai setakat ini, kecuali dalam sejarah bangsa kita yang dilakukan oleh Sultan Mahmud Riayat Syah, bahwa seorang suami memberikan maskawin (mahar) berupa sebuah pulau kepada istrinya. Kenyataan itu membuat keistimewaan Pulau Penyengat menjadi melegenda, di samping pelbagai capaian cemerlangnya pada masa lalu, terutama capaian pengembangan tradisi intelektual (literasi) yang menjadi ciri khas tamadun Melayu zaman berzaman. Oleh sebab itu, Pulau Penyengat Indera Sakti tak hanya menjadi bagian dari warisan nasional Indonesia, tetapi memang sangat patut diperjuangkan untuk menjadi Pulau Warisan Dunia.***