Kolom Budaya

Datang Jahat Sekali-Kali Tiada

KEMAMPUAN sekaligus kemahiran utama ini seyogianya dimiliki oleh para pemimpin. Setiap pemimpin harus mampu dan mahir berdiplomasi. Kecanggihan berdiplomasi pemimpin memungkinkan dirinya disenangi semua orang, termasuk para pemimpin lain, baik dalam konteks organisasi, negeri, maupun negara. Kemampuan dan kemahiran berdiplomasi menjadi faktor penentu seseoranng pemimpin mampu dan mau bekerja sama dengan pihak lain. Itulah kualitas pemimpin yang menyebabkan kawan berhati rawan dan bersamaan dengan itu lawan pun jadi tertawan. Ringkasnya, untuk mencapai kejayaan kepemimpinan, setiap pemimpin mestilah mampu memelihara perhubungan diplomatik dengan pihak lain seraya mengerahkan segala kemampuan berdiplomasi yang dimilikinya.

 

Katakan sembah dari Paduka Anakanda

Ke bawah hadirat Duli Baginda

Datang jahat sekali-kali tiada

Sahaja hendak menghadap Baginda

 

Bait syair di atas merupakan nukilan dari Syair Abdul Muluk, karya sulung Allahyarham Raja Ali Haji rahimahullah. Bait itu adalah bagian yang berkisah tentang peristiwa ketika Amir Negeri Ban, negeri yang dikunjungi oleh Sultan Abdul Muluk, datang ke kapal Sultan Negeri Barbari itu. Ucapan di atas diungkapkan oleh Abdul Muluk kepada Amir untuk disampaikan kepada Sultan Negeri Ban. Jawaban itu diutarakan oleh Sultan yang masih muda usia itu untuk menjawab tanyaan Amir tentang maksud kedatangannya ke Negeri Ban.

Sebagai tambahan, Kerajaan Barbari merupakan negara besar dan kuat yang memiliki banyak daerah takluk. Sesuai dengan keberadaan negerinya itu, tak heranlah, ketika pemimpinnya berkunjung ke kerajaan lain—apatah lagi langsung dipimpin oleh sultannya—pemimpin negeri kunjungan akan menaruh curiga: kedatangan itu merupakan kunjungan muhibah atau sebaliknya bermisi penguasaan?

Kecurigaan pemimpin dan rakyat Negeri Ban menjadi sirna dari jawaban simpatik, cerdas, bernas, dan jujur dari Sultan Abdul Muluk, “Datang jahat sekali-kali tiada.” Artinya apa? Kedatangan Sultan Abdul Muluk ke Negeri Ban bukanlah bermaksud jahat, melainkan dengan niat baik hendak memelihara perhubungan diplomatik yang lebih erat dan baik dengan Kerajaan Ban dan para pemimpinnya. Sebagai sultan yang baru saja dilantik, Abdul Muluk memang sengaja memilih Negeri Ban sebagai negeri kunjungan muhibah untuk menimba ilmu dari Sultan Ban, yang dari segi usia kalender dan usia kepemimpinan jauh lebih senior daripada dirinya. Itulah niat mulia Abdul Muluk mengunjungi Negeri Ban dan bermuhibah dengan para pemimpinnya. Hal itu bermakna niat baik merupakan kunci utama kejayaan berdiplomasi. Niat baiklah yang memungkinkan semua kerja sama kepemimpinan dan pembangunan sebagai eskalasi perhubungan diplomatik dwipihak yang sederajat dapat dilaksanakan secara memuaskan dan saling menguntungkan.

Syair Abdul Muluk masih berkisah tentang kecanggihan diplomasi para pemimpin yang patut ditauladani. Mendapat laporan dari para bawahannya, Sultan Negeri Ban, dengan pengalamannya yang tak diragukan lagi, langsung menyambutnya dengan gembira.

 

Mendengar sembah Amir di kuala

Sultan tersenyum bertitah pula

Sambil memandang menteri segala

Sambutlah sultan muda terala

 

Titah Sultan Ban kepada Amir untuk menyambut Sultan Abdul Muluk dengan penuh kehormatan menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin yang sangat mahir berdiplomasi. Tak diperhitungkannya bahwa Abdul Muluk merupakan seorang sultan yang masih muda usia. Yang diperhatikan Baginda adalah Abdul Muluk adalah pemimpin negeri tetangga yang setara derajat dan martabatnya dengan dirinya. Oleh sebab itu, tamu yang berkunjung itu harus disambut dengan takzim sebagaimana layaknya menyambut para pemimpin negeri lain sesuai dengan adat-istiadat Negeri Ban yang terpelihara selama ini.

Lalu, berangkatlah kembali para utusan Sultan Ban ke kapal Abdul Muluk untuk mempersilakan sultan muda itu berkunjung ke istana. Utusan itu diterima dengan baik oleh Sultan Negeri Barbari dengan durja dan perilaku yang elok tiada terperi. Dengan durja dan perilaku yang sangat mulia itu, siapakah manusia beradab yang sanggup menolaknya?

 

Lalulah bertitah sultan muda

Sedap manis lakunya syahda

Marilah duduk sekalian Mamanda

Apakah gerangan pekerjaan ada

 

Berdatang sembah Perdana Menteri

Dititahkan Ayahanda patik ke mari

Persilakan Tuan muda bestari

Bermain-main ke dalam negeri

 

Seperti halnya Sultan Ban yang tak kuasa menolak kunjungan Sultan Abdul Muluk, penguasa Negeri Barbari itu pun tak mungkin menghampakan jemputan pemimpin Negeri Ban yang karismatik itu. Kebahagiaannya menerima undangan itu tak semata-mata diucapkan dengan kata-kata, tetapi ditunjukkan juga dengan ekspresi wajah (durja) dan keelokan perilaku.

 

Mendengarkan sembah wazir terbilang

Baginda tersenyum warna cemerlang

Durjanya manis bukan kepalang

Rupanya berseri gilang-gemilang

 

Dari perian tentang adab dan adat Sultan Ban sebagai penerima tamu dan Sultan Abdul Muluk sebagai tamu pada bait-bait syair di atas, jelaslah bahwa kecanggihan berdiplomasi mestilah terlihat dari ekspresi wajah dan perilaku secara menyeluruh. Tak akan bermakna, malah berarti sebaliknya, ungkapan bersedia bekerja sama dengan pihak lain, tetapi diungkapkan tanpa ekspresi positif atau, bahkan, dengan bermuram durja dan atau perilaku kasar yang sok kuasa. Ketinggian kualitas kepemimpinan ditunjukkan oleh kepiawaian pemimpin berkomunikasi tak hanya dengan bahasa, tetapi dengan olah budi yang tecermin dalam perilaku dan ekspresi wajah yang sedap dipandang oleh semua orang. Untuk hal yang disebutkan terakhir itu, para pemimpin besar menunjukkannya, bahkan, dalam situasi yang kurang dan atau tak menyenangkan sekalipun. Keanggunan sikap, perilaku, dan ekspresi itu sanggup mematahkan lawan tanpa harus menggunakan kata-kata yang berkonotasi keras dan kasar.

Tentulah bahasa pun memainkan peran yang sangat penting dalam peristiwa berdiplomasi ini. Perhatikanlah ungkapan bahasa terpilih yang diucapkan oleh Sultan Abdul Muluk dan Sultan Ban dalam bait-bait syair di atas. Kesemuanya itu mencerminkan bahwa kedua-duanya merupakan pemimpin terbilang yang halus budi dan sangat mahir berdiplomasi. Berhadapan dengan pemimpin dengan kualitas secanggih itu, sesiapa pun pasti menaruh hormat dan secara ikhlas berlaku takzim.

Para pemimpin tingkat tinggi memang memilih dan menempuh pendidikan dan pelatihan khusus untuk mencapai kualitas prima itu. Berhubung dengan itu, saya teringat ucapan Sultan Johor Darultakzim (sampai dengan 1824 menjadi bagian dari Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang) di salah satu media cetak harian di Malaysia, “Semenjak lahir kami telah diajarkan oleh Ayahanda dan Ibunda kami untuk menjadi sultan yang baik.” Di antara kemampuan yang diajarkan itu adalah kecanggihan berperilaku, berekspresi, dan berbahasa secara mengagumkan dalam berdiplomasi. Oleh sebab itu, Gurindam Dua Belas, Pasal yang Kelima, bait 1, mengingatkan kita tentang perkara yang mustahak itu.

 

Jika hendak mengenal orang berbangsa

Lihat kepada budi dan bahasa

 

Budi itulah yang mesti menyirat di dalam perilaku dan ekspresi dalam berdiplomasi. Budi itu pun seyogianya tecermin dalam bahasa diplomatis. Pada gilirannya, bancuhan yang serasi antara perilaku, ekspresi, dan bahasa yang bersulam budi sangat menentukan kualitas diplomasi kepemimpinan. Para pemimpin yang mampu menerapkan nilai-nilai terala dalam kemahiran berdiplomasi akan diperhitungkan sebagai pemimpin dari bangsa yang memang patut dimuliakan oleh semua peradaban dunia. Pandai berbahasa saja tak akan cukup. Kecanggihan berbahasa ditentukan oleh kemahiran dan kepiawaian pemakainya menyerasikan kualitas budi yang mesti menyerlah dalam berkomunikasi dan berdiplomasi.

Setiap pemimpin tentulah hendak dikenang sebagai orang yang berjaya karena mampu berdiplomasi dengan baik. Untuk itu, Gurindam Dua Belas masih mengingatkan syarat yang harus dipenuhi. Kali ini pada Pasal yang Ketujuh, bait 9.

 

Apabila perkataan yang lemah-lembut

Lekaslah segala orang mengikut

 

Nah, itu dia! Berkata-katalah dengan lemah-lembut. Ungkapan diplomatis mesti merujuk kepada konotasi lemah-lembut karena di situlah letaknya kehalusan budi dalam bahasa, termasuk bahasa diplomatis. Karena tugas berdiplomasi itu melekat pada pemimpin, sesiapa pun yang bercita-cita hendak menjadi pemimpin yang senantiasa dikenang orang patutlah mendisiplinkan diri untuk berkomunikasi dengan lemah-lembut. Dari perkataan dengan kualitas tingkat tinggi itulah, tujuan berdiplomasi akan dicapai dengan baik karena amat sulit untuk ditolak oleh orang lain.

Diplomasi tingkat tinggi tak semata-mata menjadi indeks kepemimpinan puncak seperti pemimpin tertinggi sesuatu negara. Bahkan, perhubungan diplomatis yang canggih itu seyogianya melekat pada sesiapa pun yang menjadi pemimpin walaupun ianya hanyalah ketua suatu organisasi yang kecil sahaja.

Gengsi kepemimpinan terletak pada niat baik serta kemahiran menata perilaku, ekspresi, dan bahasa yang bernilai diplomatis. Dengan demikian, tanggung jawab pemimpin untuk memelihara perhubungan diplomatik dengan pihak lain dapat dilakukan dengan anggun dan mengagumkan. Pada gilirannya, keunggulan tamadun bangsa yang memperhatikan kecanggihan berdiplomasi akan diperhitungkan masyarakat sejagat.***