Kolom Budaya

Kesetiaan Cinta Sejati

Kesetiaan Cinta Sejati

Dr. H. Abdul Malik, S.Pd., M.Pd.

ORANG Melayu, umumnya, di mana pun mereka bermastautin, dan masyarakat tempatan, khususnya, memberinya nama Pulau Penyengat. Orang Inggris menyebutnya The Island of Mars, Peningat, atau Pulo Piningad. Bahkan, mereka juga menyebutnya Peningat of Mars. Orang Belanda pula menyebutnya Penjengat atau Penjingat. Itulah di antara nama yang pernah diberikan untuk sebuah pulau mungil yang sekarang berada dalam wilayah administratif Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau. Sebelum menjadi pusat pemerintahan kesultanan, Pulau Penyengat merupakan benteng pertahanan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Kala itu pusat pemerintahan salah satu kesultanan sangat penting di Selat Melaka itu berada di Sungai Carang, Hulu Riau, Pulau Bintan, juga di wilayah Kota Tanjungpinang sekarang.

Pulau Penyengat mulai dijadikan tempat tinggal penduduk pada 1805. Sebelum itu, pada 1803 Sultan Mahmud Riayat Syah, Yang Dipertuan Besar Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1761—1812), sultan yang berkuasa kala itu, melamar dan selanjutnya menikah dengan Engku Puteri Raja Hamidah binti Raja Haji Fisabilillah. Raja Haji Fisabilillah, ayahanda Raja Hamidah, adalah Yang Dipertuan Muda IV Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (1777—1784), yang gugur di medan perang di Teluk Ketapang, Melaka pada 18 Juni 1784.

Maskawin atau mahar pernikahan antara Sultan Mahmud Riayat Syah dan Engku Puteri Raja Hamidah tiada lain adalah sebuah pulau. Itulah Pulau Penyengat, Pulau Maskawin. Dengan demikian, Pulau Penyengat menjadi satu-satunya pulau di dunia yang pernah dijadikan maskawin (mahar) pernikahan. Sejak itu, secara adat dan hukum yang berlaku pada masa itu, Pulau Penyengat menjadi milik sah Engku Puteri Raja Hamidah.

Bersamaan dengan dijadikannya maskawin pernikahan untuk istrinya, Sultan Mahmud Riayat Syah memerintahkan pembangunan Pulau Penyengat. Pembangunan itu berlangsung lebih kurang dua tahun dan selesai pada 1805. Infrastruktur yang dibangun meliputi istana, taman-taman, masjid, jalan, dan lain-lain sehingga pulau yang sebelumnya tak berpenghuni itu berubah sama-sekali menjadi sebuah bandar (kota) baru. Setelah dibangun, Pulau Penyengat disebut juga Penyengat Bandar Riau.

Setelah pembangunan Pulau Penyengat selesai, Engku Puteri Raja Hamidah pun pindah ke Penyengat Bandar Riau. Sebelum itu, Engku Puteri tinggal bersama saudaranya Raja Jaafar ibni Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda VI Kesultanan Riau-Lingga (1805—1832) di Kota Piring, Pulau Biram Dewa, Hulu Riau (juga di wilayah administratif Kota Tanjungpinang sekarang). Sebaliknya, Sultan Mahmud Riayat Syah sejak 1787 telah berpindah ke Daik, Pulau Lingga, yang sejak itu telah dijadikan tempat kedudukan Baginda sebagai Sultan Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Bersamaan dengan kepindahan Engku Puteri Raja Hamidah, Sultan Mahmud Riayat Syah menganjurkan Yang Dipertuan Muda VI Kesultanan Riau-Lingga Raja Jaafar untuk memindahkan juga pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda ke Penyengat Bandar Riau. Sesuai dengan kesepakatan bersama sultan, pada 1805 Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar pun memindahkan pula pusat pemerintahan ke Pulau Penyengat dan bandar baru itu menjadi tempat kedudukan resmi beliau sebagai Yang Dipertuan Muda. Sejak itu, pulau tersebut dikenal juga dengan nama Pulau Penyengat Indera Sakti.

Lebih kurang 95 tahun Pulau Penyengat Indera Sakti telah menjadi pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda. Selanjutnya, pada 1900 Sultan Abdurrahman Muazam Syah, sultan yang berkuasa kala itu, memindahkan pula pusat pemerintahan dan kedudukan resmi Baginda sebagai Sultan atau Yang Dipertuan Besar ke Pulau Penyengat Indera Sakti dari kedudukan semula di Bandar Daik, Pulau Lingga (di wilayah administratif Kabupaten Lingga sekarang). Pemindahan itu menyebabkan pusat pemerintahan Yang Dipertuan Besar dan Yang Dipertuan Muda Kesultanan Riau-Lingga dipersatukan tempatnya, yakni di Pulau Penyengat Indera Sakti.

Dengan pemindahan pusat pemerintahan Yang Dipertuan Muda (sejak 1805) dan Yang Dipertuan Besar (sejak 1900) ke sana, Pulau Penyengat mencatatkan dirinya sebagai pulau terkecil di dunia  (luasnya hanya lebih kurang 1,7 km2) yang pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan besar. Betapa tidak? Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang merupakan sebuah kerajaan Melayu yang cukup besar. Wilayahnya meliputi sebagian Indonesia (Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi), sebagian Malaysia (Kerajaan Johor dan Kerajaan Pahang), dan Singapura sekarang.

Menjadi Pulau Maskawin satu-satunya di dunia merupakan keistmewaan Pulau Penyengat yang tiada bandingannya. Kenyataannya pernah menjadi ibukota negara besar, padahal ukuran pulaunya sangat kecil menjadikan Pulau Penyengat Indera Sakti lebih istimewa lagi. Lebih daripada itu, manusia yang mendiamilah yang membuat Pulau Penyengat menjadi lebih sakti lagi sehingga dikagumi oleh sesiapa pun yang mengetahui masa lalunya yang gemilang.

Pulau Penyengat Indera Sakti juga diharumkan oleh seorang yang sangat setia berperan sebagai penjaga sekaligus pembela adat-istiadat dan tamadun Melayu. Beliau tiada lain adalah Engku Puteri Raja Hamidah, istri Sultan Mahmud Riayat Syah. Beliaulah si pemilik sah pulau tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas.

Setelah menikah dengan Sultan Mahmud Riayat Syah, Engku Puteri diamanahkan oleh suaminya untuk menjaga regalia Kesultanan. Regalia adalah seperangkat alat kebesaran kerajaan yang digunakan, antara lain, untuk kelengkapan penabalan (pelantikan) Sultan Riau-Lingga. Tanpa regalia, pengangkatan seorang sultan menjadi tak sah menurut hukum dan adat-istiadat Melayu.

Secara umum, regalia merupakan simbol kebesaran adat-istiadat dan tamadun (peradaban) Melayu. Oleh sebab itu, jika ada pihak lain yang menganggap bahwa mereka telah menguasai Kesultanan Melayu, orang Melayu tak pernah mengakuinya selama regalia tak berhasil mereka peroleh dengan cara yang terhormat. Dengan demikian, menjaga regalia bermakna juga menjaga kehormatan Melayu.

Begitulah peran penting dan sakralnya regalia Kesultanan bagi orang Melayu. Dengan demikian, regalia haruslah berada di bawah penjagaan seseorang yang tangguh secara pesikologis, kultural,  dan religius sekaligus. Dia mestilah orang yang sangat setia menjaga adat-istiadat dan marwah bangsanya. Orang itu tiada lain adalah Engku Puteri Raja Hamidah, seorang perempuan yang rela mati untuk mempertahankan adat-istiadat dan tamadun warisan nenek moyangnya.

Tak pernah ada ketangguhan tanpa ujian untuk pembuktiannya. Sampai waktu dan ketikanya, ujian itu pun dihalakan kepada Engku Puteri Raja Hamidah dan keluarga besar beliau.

Pada 12 Januari 1812 Sultan Mahmud Riayat Syah, suami Engku Puteri, mangkat (wafat) di Daik, Lingga. Menurut wasiat Sultan kepada Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar, Tengku Abdul Rahman, putra kedua Baginda Sultan, yang harus dilantik untuk menggantikan sultan yang telah mangkat. Akan tetapi, Engku Puteri tak mendengarkan secara langsung wasiat itu dari suaminya sehingga beliau berkeberatan Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi sultan. Karena apa?

Menurut adat-istiadat Melayu, putra tertua-lah yang harus menggantikan ayahandanya sebagai sultan. Dalam hal ini, seyogianya Tengku Husin, kakanda Tengku Abdul Rahman, yang harus menggantikan ayahandanya karena beliau putra sulung (tertua). Alhasil, karena Raja Jaafar dan para pembesar istana lebih cenderung melaksanakan wasiat sultan, Tengku Abdul Rahman yang ditabalkan menjadi sultan untuk menggantikan ayahandanya. Karena tak sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku selama ini, Engku Puteri tak mau menyerahkan regalia sebagai kelengkapan pelantikan Sultan Abdul Rahman Syah sehingga penabalan itu mengalami cacat secara adat.

Tujuh tahun berikutnya, Januari 1819, Tengku Husin dilantik pula oleh Thomas Stanford Raffles menjadi Sultan Singapura. Kala itu Singapura merupakan wilayah ketemenggungan di bawah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang. Seyogianya, Singapura tak berhak melantik seorang sultan. Jelaslah bahwa pelantikan Sultan Husin Syah, kakanda Sultan Abdul Rahman Syah, itu merupakan upaya Raffles untuk memecah-belah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang, yang belum lama ditinggalkan oleh pemimpin besarnya yang tak pernah mampu dijamah oleh kuasa asing, baik Belanda maupun Inggris.

Pihak Singapura yang didukung oleh Inggris pada 1821 berusaha mendapatkan regalia dari Engku Puteri agar keberadaan Tengku Husin sebagai Sultan Singapura menjadi sah. Caranya tergolong sangat keji yakni mencoba menyogok Engku Puteri Raja Hamidah dengan 30.000 ringgit Spanyol. Akibatnya, Engku Puteri sangat tersinggung dan beliau marah besar, terutama kepada Engku Long (sapaan akrab Sultan Husin Syah). Upaya Singapura itu gagal total sehingga keberadaan Sultan Singapura tak pernah mendapatkan legitimasi dari Kesultanan Melayu alias tak sah menurut adat-istiadat dan hukum bangsa Melayu.

Selanjutnya, pada November 1822, setelah lebih kurang 10 tahun memerintah, Sultan Abdul Rahman Syah yang didukung oleh Belanda akan dilantik juga dengan kelengkapan dan keabsahan adat-istiadat Melayu. Tentulah harus dengan kelengkapan regalia. Karena Engku Puteri masih bertahan tak mau menyerahkan regalia, tentara Belanda mengepung istana beliau di Pulau Penyengat. Setelah memasuki istana dan bertemu Engku Puteri, tentara Belanda menodongkan senjata ke arah istri Sultan Mahmud Riayat Syah itu seraya berupaya merebut regalia dari tangan perempuan yang berhati baja itu.

Putri Raja Haji Fisabilillah yang setia itu tak pernah gentar ditodong dengan senjata apa pun. Pahit-maung perjuangan yang telah dialami beliau bersama ayahnda dan suami beliau telah membuat Engku Puteri tak mudah digertak oleh siapa pun di dunia ini. Bahkan, jangankan ditodong, jika benar-benar ditembak pun, bahkan beliau rela. Padahal, kalau hendak hidup nyaman, beliau tinggal membuat pilihan: hendak berpihak ke anaknya yang mana, Sultan Husin dan Inggris atau Sultan Abdul Rahman dan Belanda. Akan tetapi, Engku Puteri bukanlah tipe perempuan dan pemimpin oportunistis murahan seperti itu.

Karena regalia akan direbut secara paksa dari penjagaannya, dengan tatapan mata penuh wibawa, beliau berujar lantang kepada penceroboh di hadapannya:

“Regalia ini tak boleh kalian rampas dari orang yang telah menjaganya sepanjang hayat dengan segenap jiwa dan raganya dalam kecintaan yang tiada bertolok bandingnya. Karena kalian berupaya mengambilnya secara paksa dari tangan beta, setelah beta hempaskan ke tanah, benda itu tak memiliki tuah dan makna apa pun lagi menurut adat-istiadat kami, kecuali hanya lempengan emas yang sama-sekali tak berguna bagi kami. Kalian tak akan pernah mampu menjaga regalia itu sebagaimana kami menjaganya bagai menating minyak yang penuh. Dan, kalian pun tak akan pernah berhasil memahami apatah lagi merebut hati kami orang Melayu!”

Begitu selesai kalimatnya yang terakhir, dengan hati yang remuk-redam, perangkat kebesaran Kesultanan dan adat-istiadat Melayu itu dihempaskannya ke tanah dari tingkap istananya. Tuah benda pusaka itu pun melayang jauh karena tak diserahkan dengan cara yang terhormat, apatah lagi secara adat-istiadat!

Pada 27 November 1822 Sultan Abdul Rahman Syah memang dilantik juga dengan menggunakan regalia. Akan tetapi, jauh di lubuk hati yang hampa, Baginda pasti menyadari bahwa benda itu kini hanyalah berupa lempengan emas biasa saja, seperti diungkapkan oleh ibundanya, yang tak lagi memiliki tuah yang mampu mengangkat marwah bangsa Melayu.

Kesetiaan Engku Puteri Raja Hamidah terhadap nilai-nilai warisan nenek-moyangnya memungkinkan adat-istiadat dan tamadun Melayu masih bertahan di wilayah Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sampai sekarang. Nilai-nilai perjuangan dan ketauladanan pemilik sah Pulau Penyengat itu memang sulit dicari tolok bandingnya. Kesan kewibawaan itu masih dapat dirasakan sampai sekarang. Jika Anda pun hendak memastikan denyut kehebatan dan kehangatannya, silalah berziarah ke makam beliau di Kompleks Pemakaman Diraja Melayu, Pulau Penyengat Indera Sakti.***