Berita

MELAYU NUSANTARA MAHAWANGSA: DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK DAN HISTORIS

MELAYU NUSANTARA MAHAWANGSA:  DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK DAN HISTORIS

Tiga elemen pemberangus sebuah bangsa:oleh Imam Qalyubi

  1. Kaburkan sejarahnya
  2. Hancurkan  bukti-bukti kejayaan  masa lalunya
  3. Putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya

Nusantara atau Indonesia khususnya pada saat ini masih diliputi oleh berbagai persoalan bangsa yang mendasar seperti kesejateraan, ketentraman dan kemerdekaan. Indonesia belum menemukan formatnya sebagai sebuah bangsa besar, berjati diri, berdaulat apalagi bermarwah.  Beberapa elemen perusak yang sangat memberikan andil yaitu turut campurnya bangsa lain dalam berbagai aspek kehidupan. Kita lupa bahwa pada masa lalu bangsa Nusantara begitu disegani dan ditakuti oleh bangsa-bangsa lain.

Teringat sebuah kabar tentang raja Banten bernama Kiyai Senopati pada tahun 1619 pernah mengirim surat kepada Raja Inggris James I dan Gubernur Hindia di tanah jajahan Belanda J.P Coen. Dalam suratnya kepada raja Inggris dan petinggi Belanda tersebut Kiyai Senopati tanpa kata pemanis sedikitpun dengan tegas menolak upaya pemerintah Belanda  dan Inggris yang berencana membangun sebuah benteng di Jayakarta/Jakarta.  Begitu tegasnya isi dari surat tersebut sehingga para ahli bahasa barat menyebutnya sebagai  “Surat Berbisa dari Timur”.

Sejenak kita renungkan dan bandingkan dengan prilaku para pemimpin kita saat ini yang senang menjadi kacung alias jongos bangsa asing. Mental inlander dan stocholm syindrom telah merasuki hampir di setiap pemikiran anak bangsa ini. Kita lupa bahwa pada masa lalu bangsa ini adalah bangsa besar yang unggul dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan Bangsa yang pernah berjaya menjadi sebuah negara terhormat yang tidak ada satupun negara yang mampu menandingi kedahsyatan peradabannnya. Mulyana (1979) dalam tafsir Negara Kertagama mengatakan bahwa hanya ada dua di dunia yang memiliki kekayaan setara dengan Nusantara.

yaitu negara Habsyi atau wilayah Afrika masa kini, bahkan negara-negara luar menyebut Nusantara sebagai negeri kemiliau  Emas dan negeri permata. Hal ini dapat dibuktikan dengan topinimi-toponimi suatu daerah yang mengarah kepada nama-nama itu. Beberapa toponimi seperti Gunung Saloko (emas/perak) di Jawa Barat, Gunung Mas di Kalimantan Tengah, Bintan (Pulau ber-intan), Tanjung Perak  di Surabaya dll.

Terlepas dari soal kedahsyatan Nusantara dalam sebuah diskusi kecil sebulan  yang lalu antara penulis dengan seorang pakar budaya dan sejarah di Yogyakarta pada akhir dikusi tersebut tercetus sebuah cita-cita bersama yaitu membangun kembali Nusantara dengan konsep Kasultanan atau kerajaan. Cita-cita ini sebagai sebuah sikap terhadap kegagalan konsep republik dalam membawa  bangsa ini menjadi sebuah negara yang makmur dan sejahtera.

Tanpa maksud memprovokasi,  bahwa ungkapan ” NKRI Harga Mati” buat penulis bukan suatu ungkapan yang bersifat final. Konsep NKRI bisa dinegosiasi atau bisa ditawar. Kalau mau secara ektrem penulis katakan bahwa sejatinya pembentukan NKRI adalah sebuah  tindakan yang illegal.  Mengapa pembentukan NKRI itu dapat dikatakan illegal?  Bukankah sebelum munculnya konsep NKRI wilayah Nusantara ini telah terbentuk sebuah negara dengan konsep kasultanan atau karajaan. Dalam ilmu ketatanegaraan kasultanan atau kerajaan di Nusantara tersebut telah menjadi sebuah bentuk negara yang berdaulat. Memiliki undang-undang atau aturan hukum yang jelas, memiliki hirarki kekuasaan dan memiliki balatentara sebagaimana negara-negara modern republik umumnya.

Dalam sejarahnya kasultanan ataupun kerajaan tetap eksis sampai dibentuknya republik Indonesia ini.  Namun setelah dibentuknya republik Indonesia maka banyak dari kesultanan dan kerajaan secara sukarela bergabung dengan NKRI, namun pasti dengan syarat-syarat dan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang sampai saat ini dokumen perjanjian masih dapat dilihat di tempat penyimpanan dokumen negara di Jakarta. Tercatat ada sekian banyak kerajaan yang telah eksis di Indonesaa sebelum pembentukan NKRI seperti:  Kasultanan Malik Assaleh Aceh, Kasultanan Deli Serdang Sumut, Kasultanan Siak Indra Giri Hilir Riau, Kasultanan Palembang Mahmud Badaruddin, Kerajaan  Matan Kalimantan Barat, Kasultanan Banjar Kalimantan Selatan, Kasultanan Kotawaringin, Kalimantan Tengah, Kasultanan Kutai Kertanagara, Kasultanan Tidore Ambom, Kasultanan Bima, Kerajaan Karang Asem Lombok, Kerajaan Cakranegara Bali, Kasultanan Cirebon, Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Solo dll.    Kesemua kasultanan atau negara-negara kecil tersebut pada saat itu telah memiliki sistem

ketatanegaraan sebagaimana layaknya sebuah Negara. Bahkan Kasultanan atau kerajaan-kerajaan tersebut secara jelas menyebut dirinya atau wilayah kekuasaanya dengan nama negara.  Setelah kesultanan atau kerajaan-kerajaan dengan pemerintah pusat menjadi satu menjadi sebuah negara NKRI lama-kelamaan peran kasultanan dan kerajaan pudar bahkan praktis saat ini telah banyak yang hilang dan tak berbekas.

Keadaan seperti ini berbeda dengan negara Malaysia yang secara cerdas membentuk negaranya dengan menggunakan konsep federasi sehingga tetap dapat mempertahankan warisan leluhur berupa kesultanan  atau kerajaan. Berbeda dengan konsep NKRI yang telah mematikan eksistensi kesultanan atau kerajaan dan disinilah justru banyak peluang bagi warga asing nonpribumi dengan segala macam cara menjadi pemimpin dikalangan pribumi Nusantara.  Lebih ironi lagi setelah Kesultanan dan kerajaan itu tinggal mimpi-mimpi  dari konsep republik  yang diharapkan sebuah kemakmuran ternyata hanya sebuah utopia.

Arti Melayu

Melayu adalah sebuah entitas yang komplek.  Di dalamnya terkait  bangsa, bahasa, adat, tradisi, agama dan budaya.. Secara etimologis kata Melayu berasal dari proto Melayu Javenic yang bermakna pergi, rantau, lari atau hijrah.  Dengan demikian Melayu  dapat dimaknai sebagai sebuah simbol yang bergerak, berdinamika dan ber-organisme dan tidak berhenti pada satu ruang dan waktu.  Melayu sejalan dengan namanya yaitu bergerak, berdinamika atau berhijrah dari satu tempat ke tempat yang lain dari satu peradaban ke peradaban yang lain.

Melayu atau bangsa Melayu dikenal sebagai bangsa yang ramah, tidak ambisius, kaya dengan ungkapan simbolik, adaptif pada setiap pendatang.  Namun demikian terdapat prilaku unik bangsa  Melayu seperti sebuah ungkapan bahwa Melayu itu asimetris dan misteri. Dalam beberapa hal bangsa eropa atau barat gagal dalam memahami karakter orang Melayu.

Terkait dengan istilah Melayu secara filosofis mengandung makna bahwa bangsa Melayu itu selalu berhijrah. Itulah kemudian di dunia Melayu dikenal dengan budaya peladang berpindah atau berhijrah dari ladang yang satu ke ladang yang lain. Terkait dengan peladang berpindah dalam dunia Melayu terdapat sebuah konsep penandaan yang bermakna sebagai wilayah kekuasaan.

Beberapa penanda wilayah kekuasaan dalam budaya Melayu khususnya di ranah perladangan umumnya ditandai dengan  potongan pohon yang melintang, meninggalkan pohon

tertentu atau meninggalkan abu pembakaran sebagai tanda bahwa wilayah atau ladang tersebut tidak boleh atau dilarang keras dirambah atau dimasuki.  Begitulah penanda batas-batas wilayah-wilayah yang dibuat oleh leluhur bangsa Melayu dan semua prilaku budaya tersebut telah menjadi konsesensus bersama. Konsensus penandaan yang demikian telah  berlaku di kalangan persukuan selama berabad-abad lamanya. Prilaku dalam penandaan tersebut hingga kinipun masih dapat dilihat pada suku-suku Melayu yang tinggal di pedalaman Sumatera seperti Sakai, Meratus di Kalimantan Selatan dan Iban di Serawak. Dengan tanda-tanda tertentu yang ditinggalkan tersebut sebagai peringatan pada orang lain bahwa wilayah tersebut dilarang untuk dirambah.

Fenoma penandaan wilayah kekuasaan sebagaimana manasia Melayu tersebut juga berlaku di dunia binatang,  bahwa setiap wilayah yang yang dikuasai binatang tertentu  akan mereka berikan tanda -tanda wilayah kekuasaanya dengan beberapa penanda seperti: air kencing, kotoran atau dengan cakaran di pohon-pohon.

Asal Melayu

Terkait dengan tanah asal bangsa Melayu terdapat beberapa pandangan atau perspektif keilmuan . Beberapa pandangan tersebut berasal dari kajian linguistik, antropologi, arkeologi dan geneologi atau bahkan pandangan gabungan dari dua kajian keilmuan seperti kajian antropolinguistik, genolinguistik, linguistik historis komparatif dll.

Dari perspektif linguistik dikatakan bahwa orang Austronesia atau Melayu polynesia  berasal dari beberapa kemungkinan tempat seperti : Melanesia dan Papua Timur, Sebelah Barat Papua, Formosa, Mentawai dan sekitarnya (Dyen dalam Soepomo: TT). Sementara Blust via  Belwood (2000) menyebut  Melayu purba berasal dari Cina selatan dan Belwood (2000) menyebut Melayu berasal dari Formosa (Taiwan).

Temuan mutakhir  yang cukup fenomenal sebagaimana yang diutarakan oleh Nothofer  via Collin (2005) yang menyebutkan bahwa bahasa atau penutur Melayu berasal dari Kalimantan Barat. Diperkirakan  Melayu purba tersebut  telah berusia dua juta tahun.  Penutur bahasa Melayu memiliki cirri-ciri ekologis rawa-rawa, tanah basah, delta dan pantai. Dari cir-ciri ekologis tersebut dimungkinkan bangsa Melayu purba memiliki teknologi pelayaran yang dahsyat. Fakta-fakta ini sejalan dengan Read (2008) yang mengatakan bahwa tidak ada dunia

pelayaran yang lebih dahsyat di Asia Tenggara kecuali bangsa Melayu Nusantara bahkan jika dibandingkan dengan bangsa Cina dan India sekalipun.

Melayu sendiri merupakan  turunan dari Austronesia Purba .Jika kemudian Belwood (2000) berpendapat bahwa Melayu berasal dari Taiwan dan Formosa itupun juga benar karena Melayu yang terdapat di Formosa atau Taiwan pada awalnya memang orang-orang Melayu yang sebelumnya hijrah dari tempat asalnya di Kalimatan Barat dan bergerak ke arah utara menuju wilayah Formosa atau Taiwan sekitar 10 ribu tahun yang lalu. Orang Melayu purba yang terdapat di Kalimantan tersebut  kemudia berpencar dengan pola perjalanan searah jarum jam.

Penyebutan Formosa atau Taiwan seringkali menimbulkan sebuah persepi yang salah bahwa orang Melayu itu berasal dari Cina karena sejatinya wilayah  Formosa (Taiwan) yang kini menjadi wilayah Cina tersebut  dulunya merupakan wilayah Melayu.

Bangsa Melayu adalah sebuah entitas suku bangsa yang besar  yang bergerak dinamis berdiaspora di berbagai tempat di dunia,  Bangsa Melayu merupakan penguasa dan pemilik sah kedaulatan Asia Tenggara ,  bahkan kekusaanya  melampaui batas-batas Asia Tenggara seperti dari ujung Formosa di Indochina sampai Madagaskar , dari Okinawa  sampai Selandia Baru dan wilayah Hawai di Amerika, bahkan sampai Madagaskar. Gugusan Melayu merata di wilayah Asia Tenggara dan sebagian tercecer di benua  Afrika, Australia.  Bahkan Belwood menyebut Melayu atau Austronesia adalah penguasa separuh dunia.

Melayu Nusantara Mahawangsa Perspektif Lingsuitik dan Hsitoris

Jika melacak lebih ke atas rumpun Melayu Nusantara Mahawangsa, maka kita akan dihadapakan pada sebuah rumpun besar yaitu rumpun atau bangsa Austronesia. Memiliki 1.200 bahasa. Dengan demikian Austronesia merupakan rumpun bahasa terbesar yang jumlah anggotanya terbesar di dunia. Sementara Dyen via Poedjosoedarmo (TT) dalam peneltiannya terhadap bahasa-bahasa Austronesia  dengan menggunakan metode leksikostatistik merangkai sebuah diagram pohon bahasa dengan beberapa tampilan yang disederhanakan. Dalam klasisfikasi tersebut Asutronesia memiliki 15 kelompok bahasa besar yang masing-masing terbagi lagi dalam keluarga bahasa, bahasa dan dialek-dialek . Salah satu keluarga bahasa adalah rumpun bahasa Melayu Polynesia yang memiliki beberapa kelompok bahasa dan ribuan dialek. Dalam peta tampak persebaran Austronesia dan rumpun Melayu Polynesia.Dalam perspektif linguistik orang Melayu Nusantara jauh sebelum atau awal-awal abad masehi telah telah eksisis sebagai sebuah bangsa. Beberapa catatan penting eksistensi bangsa Melayu Nusantara di Asia Tenggara dan dunia dapat dilihat pada aspek filologis linguistis yaitu adanya unsur bahasa Melayu pada naskah Al-Qur’an abad yang ada sejak abad ke- 6 M tersebut. Terdapat penyebutan kata kaafuura dalam Al-Qur’an surah Al-Insan ayat 5 “innal abrara yasrabuna min ka’sin kaana mizajuha kaafuura (sesungguhnya orang-orang baik akan minum dari bejana/piala yang campurannya adalah kapur/kamfer) (Hamka, 1971).  Fakta linguistik ini jelas memberikan gambaran pada kita bahwa kata kaafuura yang disebutkan dalam Al-Qur’an tersebut merupakan kata serapan dari bahasa Melayu. Indikasi ini jelas karena kapur Barus dalam

sejarahnya memang hanya di temukan di Indonesia yaitu di sebuah tempat yang bernama Barus yang kini masuk dalam Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Sematera Utara merupakan sebuah imperium besar yang telah dikenal sejak abad 1 samapai 17. Nama lain dari Barus adalah Fanshur sebutan diduga digunakan pedagang Parsi dan dan Arab sehingga Hamzah yang berasal dari Barus menamakan dirinya sebagai Al-Fanshuri artinya berasal dari Barus/Fanshuri.

Pengelana Arab dan Parsi secara jelas juga menyebutkan bahwa pada masa sebelum Majapahit perdagangan antara Nusantara dengan dunia luar telah berlangsung lama.  Para pengelana seperti Ibn Al Wardi (1340)  Ibn Batutah (1345) Ibn Khurdadhbih (846), Ibn Rusteh (903), dan Al Biruni (1030) secara gamblang menyebutkan wilayah-wilayah Nusantara yang pernah mereka singgahi seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Penyebutan Jawa atau zabag dalam hal ini adalah merupakan wilayah yang memiliki bandar-bandar besar seperti  seperti Tuban, Sedayu, dan Gresik yang merupakan Bandar dalam kuasa Majapahit (Kroom,1931 dan Graaf. 1949).

Bukti eksistenasi Melayu yang lain yang lebih muda usianya berupa temuan leksikon-leksikon Melayu yang dikumpulan oleh Yang Lin sebagaimana yang terlihat pada daftar kata berikut:

Kosakata Melayu dalam Inventarisir Yang Lin Era Dinasti Ming

Makna Ming Entri Ming Melayu Modern Makna Sekarang
1 Kamper chia pu erh kapur (Ina) Kamfer
2 Damar ta ma erh damar(Ina) Dammar
3 Intan yin tan intan (Ina) Intan
4 jintan cheng tan jintan (Ina) Jintan
5 Akik ya chi akik (Arab) Akik
6 Dupa mo erh mur (Arab) Dupa
7 Sandal chao su kaus (Arab) Sepatu
8 pena chia lan kalam (Arab) Pena
9 kurma ko lo ma kurma (Persia) Kurma
10 Satin chin chia kimka (Persia) kain emas
11 Cangkir cha wan cawan (China) cawan/cangkir
12 Cengkeh chen chieh cengkih (China) Cengkeh
13 Batu karang pa wan lan pualam (Tamil) Pualam
14 Tinta mang his mangsi (Sankrit) mangsi / tinta
15 Cendana chen ta na cendana (Sankrit) Cendana

Melihat beberapa fakta linguistik di atas jelas bahwa terdapat suatu kontak budaya dan bahasa antara bangsa Melayu dengan beberapa negara seperti Persia, Arab, China, Tamil, dimana

satu sama lain bangsa-bangsa tersebut saling mempengaruhi. Fakta-fakta linguistik ini membuktikan bahwa kontak budaya antara orang-orang Nusantara pada masa itu begitu tinggi sehingga hal itu berimplikasi terhadap bahasa-bahasa yang digunakan. Fakta ini juga memberikan pandangan baru pada kita bahwa tidak ada satupun suatu bangsa di dunia ini yang lepas dari keterpengaruhan dari bangsa dan budaya lainnya. Anggapan umum bahwa masyarakat Nusantara dalam berbagai aspek banyak dipengaruhi oleh budaya China jelas tidak benar karena orang Nusantarapun juga banyak memberikan pengaruh yang besar bagi orang-orang China.  Jadi tanggalkan anggapan bahwa Nusantara pada masa lalu dalam subordinasi China.

Dalam perspektif historis, begitu melimpah sumber-sumber Nusantara dan barat yang membahas bagaimana kedahsyatan bangsa Melayu baik di masa sebelum masehi atau di awal-awal masehi.  Lafont (2000) dalam kajiannya tentang Campa mengungkapkan bahwa pada awal abad masehi – + abad ke 2 yang menyatakan bahwa pada masa itu telah ada invasi orang Jawa/Sumatera dan menghancurkan kuil-kuil hindu di Vietnam dan Kamboja. Invasi-invasi tersebut berlangsung hingga abad ke -9 .Ketika didirikannya Angkor Wat di wilayah perbatasan Kamboaja, Vietnam dan Thailand. Setelah selesai dibangun Angkor Wat Jayawarman II berucap” Tak akan ada lagi orang-orang Jawa/Sumatera yang akan menginvasi tanah kami”. Ungakapan ini menujukkan bahwa pada masa-masa dimana bangsa lain masih terlelap dalam tidurnya, bangsa Jawa/Sumatera / Nusantara telah melanglang buana ke wilayah-wilayah lain dan tentu hal itu dengan dukungan tekhnologi  armada dan peralatan perang  yang telah mutakhir.

Temuan terakhir Oppenheimer (2000) dalam bukunya Eden in The East mengungkapkan bahwa orang Melayu Nusantara telah mengkonsumsi beras sejak 9000 tahun yang lalu, sementara bangsa Cina pada masa itu masih mengkonsumsi talas dan umbi-umbian dan baru mengkonsumsi beras 3000 tahun kemudian.  2000 tahun kemudian disusul oleh bangsa India. Semua fakta-fakta yang diungkapkan oleh Oppenheimer tersebut berdasarkan data-data arkelogis yang ditemukan di sekitar wilayah Nusantara seperti di Malaysia,  Brunai dan Indonesia.

Temuan lain yang tak kalah fenomenal sebagaimana yang diungkapkan dalam sebuah penelitian seorang pakar sejarah  di Universitas Leeds City di London  terkait dengan dunia Bahari atau Maritim. Pakar sejarah yang memiliki Ibu Indonesia dan ber-ayah seorang Belanda tersebut mengungkapkan terkait dengan tekhnologi kapal atau dunia bahari India yang ternyata

banyak mengadopsi dari teknologi bangsa Nusantara. Fakta-kata tersebut  terkait dengan ditemukannya  banyak leksikon atau kosakata Nusantara yang serap dalam tekhnologi pembuatan kapal yang terdapat di India. Asumsi ini tentu meruntuhkan anggapan kita selama ini yang menganggap bahwa kapal-kapal Nusantara sebagai hasil dari alih teknologi dari India. Bahkan kapal  bercadik yang terdapat di relief candi Borobudur secara gegabah dianggap sebagian ahli sejarah sebagai kapal Nusantara hasil dari adopsi dari tekhnologi India. Anggapan ini tentu merupakan sebuah ironi bagi bangsa Melayu Nusantara sendiri yang menunjukkan bahwa kita telah kehilangan kepercayaan diri sebagai sebuah bangsa besar yang tentu berdampak berat terhadap pembangunan jati diri bangsa sebagai Melayu Nusantara Mahawangsa!.