Kolom Budaya

Pemimpin Negarawan Rakyat Tertawan

PEMIMPIN sejati negeri pastilah seorang negarawan. Dia bukan sebarang orang atau orang sebarang. Dialah orang yang mau, mampu, bertanggung jawab, dan ikhlas berjuang untuk menjulangkan martabat rakyat dan marwah negeri. Dia tak akan berpaling tadah dari matlamat mulia itu.

Oleh sebab itu, dia akan mengerahkan segala kemampuan dan mencurahkan seluruh pikiran cerdas lagi baik yang dianugerahkan Allah kepadanya dengan sepenuh hati meskipun cobaan dan cabaran senantiasa datang silih berganti. Dia pun, lebih-lebih, tak akan tergamak setitik air, seinci tanah, sesenti udara negerinya, dan setetes darah rakyatnya tergadai kepada negara dan bangsa lain.

Pemimpin dengan kualitas hebat itulah yang namanya akan dikenang orang sepanjang zaman. Bahkan, kepemimpinannya akan direkam oleh para penulis ternama di dalam karya-karya agung sehingga selalu menarik perhatian orang untuk mendapatkan maklumatnya. Pasalnya, cahaya kewibawaan kepemimpinan yang terala seperti itu akan mampu memotivasi para pemimpin selanjutnya dan segenap rakyat untuk melakukan kinerja yang unggul demi kemajuan bangsa dan negara.

Alhasil, pemimpin dengan kualitas utama itulah yang menjadi idola rakyat yang sesungguhnya. Hati rakyat tak dapat berpaling untuk tertawan kepadanya. Dia tak memerlukan pencitraan yang berlebihan, apatah lagi serba dibuat-buat, sehingga terlalu nyata kikuk dan kakunya. Citra dirinya telah menyerlah dari bukti bakti tulusnya membangun negeri dan memakmurkan bangsa. Dari pemimpin seperti itulah  rakyat akan menikmati kebanggaan dan kebahagiaan berbangsa dan bernegara yang sesungguhnya. Tak hanya bangsanya sendiri yang mengagumi dan menaruh kasih, bahkan bangsa lain pun bertabik hormat kepada dirinya.

Kata orang yang empunya peri
Akan Baginda Sultan Barbari
Gagah berani bijak bestari
Khabarnya masyhur segenap negeri

Bait syair di atas merupakan nukilan dari karya sulung Raja Ali Haji rahimahullah, Syair Abdul Muluk (1845/46). Dengan menggunakan tokoh Sultan Barbari, Raja Ali Haji menggambarkan suka-cita rakyat yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang terbilang. Keterbilangan kepemimpinan itu, antara lain, karena pemimpinnya tak hanya gagah berani dan kekuatan fisik rahmat Allah itu didedikasikan sepenuhnya untuk menjaga dan memajukan rakyat dan negeri, tetapi pemimpin pujaan hati rakyat itu juga lebih-lebih bijak bestari. Pada gilirannya, kualitas bijak bestari itulah yang membangkitkan kuasa gagah berani, yang menyemangati rakyat membela negeri.

Kemampuan daya pikir yang disokong sepenuhnya oleh hidayah dan inayah Allah akan membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dalam memimpin negeri dan atau negara. Selain itu, kekuatan rakyat akan terhimpun untuk menyokong sepenuhnya pemimpin yang bijak bestari, bukan dukungan semu sebatas kepentingan pragmatis sesaat, apatah lagi sesat. Sebaliknya, gagah berani yang tak diimbangi oleh kemampuan, kecerdasan pikiran, dan ketulusan hati akan membangkitkan syahwat hukum rimba dalam pengelolaan negeri. Akibatnya, rakyat negeri akan hidup dalam cengkeraman perasaan ngeri yang tiada terperi dari hari ke hari. Badan hidup serasa mati.

Ngeri sengeri-ngerinya menyelimuti diri sehingga kehidupan menjadi mati suri. Hidup bagai bukan di negeri sendiri. Apatah lagi, jika kesemuanya itu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak mengenal dan atau mengabaikan budi pekerti. Pengelolaan negeri hanya demi keuntungan sendiri, mengatasnamakan rakyat yang tak mampu berperi. Negeri tergadai tiada dipeduli karena matlamatnya semata misi pribadi.

Ringkasnya, pemimpin yang mampu menggabungkan kualitas gagah berani dan bijak bestarilah yang akan abadi. Namanya akan dijulang sebagai Mahkota Negeri, sebagai simbol daulat rakyat dan marwah negeri yang memang patut diamanahkan kepadanya sebagai pemimpin sejati. Itulah pemimpin yang kehadirannya senantiasa dinanti. Semua kebijakan dan kebijaksanaannya akan mengundang simpati dan partisipasi seisi negeri.

Hendak pun kita nampakkan gusar
Negeri Barbari terlalu besar
Ke sana sini termasyhur khabar
Sultan(nya) arif lagi pendekar
 

Raja Ali Haji, juga melalui bait Syair Abdul Muluk di atas, masih menegaskan mustahaknya pemimpin yang bijak bestari dalam memimpin negeri. Bait syair itu merupakan bagian dialog antara Sultan Negeri Hindustan dan bawahannya yang membawa berita. Kabar yang dibawa adalah kerabat sultan itu dihukum oleh Sultan Barbari karena menipu orang di Negeri Barbari. Masakan penjahat tak boleh dihukum meskipun dia kerabat pemimpin negeri sahabat yang dihormati. Bukankah wibawa kepemimpinan negeri menyerlah ketika keadilan ditegakkan dan hukum menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan, yang tak boleh diselewengkan dan atau dilanggar oleh sesiapa pun dia, tak pembesar tak rakyat jelata?

Malang dan anehnya, Sultan Hindustan teramat murka karena kerabatnya diperlakukan demikian. Akan tetapi, dia pun tak dapat berbuat apa-apa karena dari segi hukum, tindakan Sultan Barbari memang benar. Manakan mungkin perbuatan menipu orang boleh dibenarkan walaupun dia kerabat penguasa. Lebih-lebih lagi, Sultan Barbari bukanlah sebarang pemimpin, melainkan seorang sultan yang terkenal sangat perkasa lagi amat arif, sebutan lain dari bijak bestari.

Karena kearifan dan kebijaksanaan itulah, Sultan Barbari dan negerinya terkenal ke sekutah-kutah negeri, sama ada dekat ataupun jauh. Dia dan negerinya disegani kawan ataupun lawan. Satu lagi bukti bahwa kualitas arif dan bijak bestari merupakan syarat paling mustahak yang harus dimiliki oleh seseorang pemimpin. Hanya dengan kualitas prima itulah kecemerlangan kepemimpinan akan menjelmakan kesejahteraan dan kemakmuran yang didambakan setiap orang yang memilih pemimpinnya.

Dengan keyakinan itulah, para pemimpin mustahak bangat untuk memahami dan mengimplementasikan amanat penting ini. Kali ini ungkapan tunjuk ajar kepemimpinan itu dapat dicermati di dalam karya agung yang sangat terkenal di Dunia Melayu.

Apabila mendengar akan aduan
Membicarakannya itu hendaklah cemburuan

Gubahan di atas tak asing bagi sesiapa pun yang bersentuhan dengan tamadun Melayu umumnya. Kutipan itu adalah nukilan dari Gurindam Dua Belas, Pasal yang Ketujuh, bait 8, karya Raja Ali Haji. Bait gurindam itu juga hendak menegaskan begitu pentingnya pemimpin yang arif dan bijak bestari, yang disampaikan dengan narasi yang berbeda.

Tantangan dan atau cabaran kepemimpinan, antara lain, akan berdatangannya pelbagai jenis aduan. Yang lebih menyudutkan pemimpin, biasanya, kalau aduan, bisikan, dan atau laporan itu berasal dari kalangan terdekat dengannya: bawahan yang dipercayai, kerabat, sahabat, handai taulan, orang-orang kepercayaan, dan jenis-jenis makhluk yang semodel dengan itu. Dari mana pun aduan atau laporan itu berasal, seseorang pemimpin seyogianya tak boleh tergesa-gesa memutuskannya (hendaklah cemburuan menurut istilah Gurindam Dua Belas). Pasalnya, menyenangkan atau menyedihkan pun aduan itu pasti ada yang benar dan ada pula hanya sekadar tipu daya dunia, bohong belaka, dari mana pun sumbernya. Matlamatnya secara tersembunyi atau terang-terangan untuk kepentingan diri, tetapi boleh dan selalu mencelakai orang atau pihak lain, terutama yang tak disukai.

Berhubung dengan hal di atas, dalam karya beliau Muqaddima Fi Intizam (1857), Raja Ali Haji membedakan aduan atau laporan atas tiga jenis. Pertama, aduan yang datang dari malaikat; kedua, aduan yang berasal dari hawa nafsu; dan ketiga, aduan yang bersumber dari syaitan. Hanya aduan jenis pertama (dari malaikat) yang perkaranya boleh dan harus segera diurus (diproses) karena jenis aduan itu dibenarkan oleh agama dan Tuhan. Sebaliknya, aduan-aduan jenis yang lain memerlukan kearifan pemimpin untuk mempertimbangkannya secara bijak dan seksama. Pasalnya, aduan yang datang dari hawa nafsu dan dari syaitan mengandung perangkap untuk menjerumuskan pemimpin dan semua umat manusia. Dengan demikian, sekali lagi kebijakan dan kearifan pemimpin memang sangat dituntut dalam mengelola rakyat dan negeri menuju kebaikan, kemakmuran, dan tentu kebahagiaan. Kebanggaan menjadi bangsa yang berbahagia.

“Nabi mereka berkata kepada mereka, ‘Sesungguhnya, Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.’ Mereka menjawab, ‘Bagaimana mungkin Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedangkan dia pun tak diberi kekayaan yang cukup banyak?’ Nabi (mereka) berkata, ‘Sesungguhnya, Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.’ Allah memberikan pemerintahan kepada sesiapa pun yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui,” (Q.S. Al-Baqarah:247).

Kutipan di atas jelas merupakan firman Allah sebagai salah satu petunjuk untuk memahami amanat dan pemikiran Raja Ali Haji tentang pemimpin yang ideal. Keberatan kaumnya terhadap Thalut untuk menjadi pemimpin mereka karena beliau tak berharta. Ternyata, harta bukanlah standar Allah dalam menetapkan orang yang akan dijadikan-Nya pemimpin sejati. Sekali lagi, pemimpin sejati, bukan “pemimpin asal jadi yang dibeli-beli atau membeli-beli”. Dalam hal ini, persis yang dikatakan oleh Raja Ali Haji, Allah justeru memilih Thalut setelah raja itu dianugerahi-Nya ilmu yang luas. Dengan demikian, keluasan ilmu itulah yang memungkinkan seseorang pemimpin menampilkan kinerja kepemimpinan yang berkelas bijak bestari, yang sanggup memartabatkan marwah negeri, pemimpin yang disegani bangsanya sendiri dan bangsa lain negeri. Dialah pemimpin berkelas dunia, yang kebijaksanaannya senantiasa dihormati.

Segala perbuatan dengan berilmu
Maka kebajikan boleh bertemu
Jika sebarang-barang diramu
Akhirnya anakanda jatuh tersemu
…………………………………………
Jika ilmu tiada diindah
Sebab anakanda buat permudah
Rakyat datang membawa gundah
Anakanda tercengang tunduk tengadah

Dengan bait syair nasihat di dalam Tsamarat al-Muhimmah itu, lagi-lagi ditegaskan betapa mustahaknya keluasan ilmu bagi pemimpin. Hanya pemimpin yang berilmulah yang akan berjaya membawa kepemimpinan kepada kebajikan. Jika sebaliknya, maka kepemimpinan hanya menukar ganti antara satu musibah kepada malapetaka yang lain, silih berganti tiada henti, hari demi hari.

“Syahdan tatkala kepala-kepala [ketua-ketua, HAM] Dayak mendengar perkataan Demang Rilaga itu, maka ada seorang kepala Dayak itu namanya itu Pak Senti maka ia pun pergilah mendapatkan Raden Jaga membuat fitnah mengatakan Demang Rilaga membuat keras [berlaku kasar, HAM] di Pangkalan Salih, hendak merampas barang-barang orang yang berhutang itu. Setelah Raden Jaga mendengar khabar-khabar Dayak itu maka tiadalah diperiksanya lagi …. Maka lalulah berperang dikepunglah oleh orang Pinang Sekayuk perahu yang tiga buah itu. Maka turunlah Demang Rilaga ke sampan serta melawan dengan pemburasnya sambil undur,” (Ahmad dan Haji dalam Matheson, Ed., 1982:101—102).

Betapa fitnah yang disebarkan dapat menimbulkan bencana perang saudara karena pemimpinnya tak berilmu lagi jauh dari kualitas bijak bestari. Itulah yang hendak disampaikan oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua dan anakanda beliau Raja Ali Haji dalam karya mereka Tuhfat al-Nafis yang dinukilkan di atas. Seorang Raden Jaga yang miskin ilmu kepemimpinan dengan mudah memerangi Demang Rilaga hanya karena fitnah yang disebarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab. Raden Jaga merupakan contoh pemimpin yang tak lulus ujian kepemimpinan. Dia gopoh karena miskin ilmu sehingga tertutup dari pancaran cahaya bijak bestari. Dia tampil sebagai pemimpin dungu, yang tak tembus sinar arif dan bijaksana.

Rasulullah SAW bersabda, “Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi begitu turun dari mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk daripada bangkai,” (H.R. Ath-Thabrani).

Petunjuk dari Rasulullah di atas secara tegas menyebutkan pemimpin haruslah arif dan bijaksana dalam mengelola negeri. Namun, kita pun diingatkan untuk berhati-hati agar tak terjerat oleh tipu daya yang dibungkus dengan kebijaksanaan palsu, pura-pura bijak bestari, padahal peringatan Allah pun diingkari. Kita memerlukan pemimpin sejati, pemimpin yang bijak bestari.

Dialah pemimpin yang memiliki kehalusan budi. Dia berniat ikhlas, berkemauan baik, dan lebih-lebih berkemampuan hebat untuk menjadi Mahkota Negeri. Dia boleh membahagiakan sekaligus dibanggakan oleh rakyat seisi negeri. Dan, dari kepemimpinannya kita berharap hidayah, inayah, dan rahmat Allah senantiasa mengalir ke merata Ibu Pertiwi. Sesiapa pun dia, jadilah pemimpin sejati, bukan pemimpin asal jadi. Apatah lagi, pemimpin jadi-jadian yang tak lulus uji.***