Berita

Dari Melayu Untuk Dunia

Pulau Pandan jauh ke tengah
Gunung Daik bercabang tiga
Hancur badan di kandung tanah
Budi yang baik dikenang juga

PANTUN “Pulau Pandan” itu tak semata-mata saya tujukan kepada Yayasan Jembia Emas, yang telah memilih saya menjadi penerima Anugerah Jembia Emas pada 2018 ini. Memang, sebagai orang Melayu, dengan anugerah itu bermakna saya telah berutang budi kepada Yayasan Jembia Emas yang menghargai saya begitu tinggi, yang tak pernah saya bayangkan selama ini. Bahkan, peristiwa bahagia itu terjadi kali pertama dalam hidup saya di kampung halaman saya sendiri, Kepulauan Riau yang sangat saya cintai. Tentulah perasaan saya sangat berbeda—rasa haru  dan bahagia bercampur aduk, tak terlukiskan dengan kata-kata—dibandingkan anugerah-anugerah lain yang pernah saya terima di daerah dan negara lain.

Seperti yang tersirat dalam kandungan “Seri Gunung” pantun itu, konsekuensinya saya memang harus membawa utang budi itu tak hanya selagi hayat dikandung badan. Selanjutnya, ianya akan menyertai saya sampai hancur badan dikandung tanah. Pasalnya, mana mungkin saya sanggup membalas budi terala Yayasan Jembia Emas sampai bila-bila masa.

Bersamaan dengan itu, dalam kreativitas saya sebagai penulis lebih kurang 33 tahun, siratan seri pantai dan seri gunung “Pantun Pulau Pandan” dan sejenisnya memang membuat saya terpikat dan membiarkan diri terikat olehnya. Betapa tidak? Dari sekian banyak pulau di Alam Melayu, mengapakah Pulau Pandan yang direkam oleh pantun itu? Begitu pula, dari sekian banyak gunung di kawasan Melayu, hanya Gunung Daik yang digunakan sebagai sampiran “Pantun Budi” itu. Memang, ada banyak pantun tentang budi dalam tamadun Melayu, tetapi tak sehebat dan sekuat “Pantun Pulau Pandan” dalam hal kait-kelindan antara seri pantai dan seri gunungnya.

Setelah menelusuri seri gunung dari seri pantai “Pantun Pulau Pandan” itu, saya menjadi lebih-lebih terpesona. Pasalnya, saya mendapat pelajaran yang sangat berharga. Pandan itu sejatinya wangi untuk dikiaskan kepada keharuman kehalusan budi menurut kearifan orang Melayu. Begitu pula, tak sekadar tinggi sebagaimana layaknya gunung walaupun secara kuantitatif berbeda-beda, tetapi hanya Gunung Daik yang puncaknya bercabang tiga, setidak-tidaknya dalam pandangan, pengalaman, dan penghayatan orang Melayu. Ketinggian Gunung Daik melambangkan ‘begitu tingginya penghargaan orang Melayu terhadap kehalusan budi’. Di atas itu, puncaknya yang bercabang tiga pula melambangkan ‘persebatian tiga pucuk pemimpin Melayu yang sangat menentukan nasib Melayu’. Oleh sebab itu, perhubungan mereka tak boleh terjejas oleh sebarang anasir pun, apatah lagi sampai mesti harus saling bertelagah dan atau berpaling tadah.

Yang tua memberi nasehat
Yang alim memberi amanat
Yang kuasa memberi daulat

Alhasil, jika ajaran kehalusan budi itu terpelihara dan diterapkan dengan baik, maka kehidupan akan berlangsung secara harmonis. Jika sebaliknya yang terjadi, maka segala angkara murka akan datang menerpa, cepat atau lambat. Kalau ianya terawat bagai menating minyak yang penuh, maka kita dapat menikmati indahnya kehidupan yang penuh makna.

Yang dulu tak menunjang
Yang tengah tak membelok
Yang belakang tak menumit

Perilaku menunjang, membelok, dan manumit itulah yang paling menyakitkan dalam perjuangan hidup bersama setiap bangsa. Oleh sebab itu, keberadaan kehalusan budi memang amat penting dalam tamadun Melayu. Budaya kehidupan suatu masyarakat dan bangsa merujuk kepada tata cara mereka bertindak terhadap lingkungan hidup, termasuk lingkungan sosial, dalam menyelenggarakan kehidupan secara kolektif. Masyarakat yang berbudaya tinggi sudah pasti mempunyai kehalusan budi dan kesempurnaan moral yang juga merupakan ciri-ciri kehidupan yang bertamadun.

Kehidupan bertamadun menegaskan dua perkara penting. Kedua perkara itu berkaitan dengan kehalusan budi masyarakat dan pembangunan perkotaan atau permukiman. Secara lebih sempurna, tamadun boleh ditakrifkan sebagai sejumlah capaian pembangunan meliputi pemikiran, perilaku, dan pelbagai aspek kemajuan (seperti sains, teknologi, kesenian, kesusastraan, dan lain-lain) yang tinggi, baik, halus, dan sopan ke arah pembentukan pribadi dan masyarakat dan atau bangsa yang berkepribadian, bertata susila, dan berbudi pekerti yang terala (terpuji dan mulia). Matlamatnya tiada lain untuk membentuk suatu masyarakat dan atau bangsa yang berkarakter baik, yakni masyarakat dan atau bangsa yang madani. Itulah cita-cita luhur masyarakat dan atau bangsa yang berperadaban tinggi.

Bangsa Melayu mengidealkan dan menghalakan pembangunan kebudayaan dan tamadunnya ke arah itu. Oleh sebab itu, di dalam bahasa dan kebudayaan Melayu kita mengenal konsep hati budi yang merujuk kepada ‘pikiran dan perasaan yang benar, baik, dan indah’. Ada pula budi bahasa yang mengacu kepada ‘bahasa yang benar, baik, dan indah’. Juga ada konsep budi bicara yang mengarah kepada ‘pandangan dan pendapat yang benar, baik, dan elok’. Pada akhirnya, terbentuklah budi pekerti yang merujuk kepada ‘sifat, sikap, dan perilaku yang benar, baik, lagi terpuji’.

Berasaskan itulah, para yang tua, yang alim, dan yang berkuasa harus memainkan peran mereka secara benar dan sinergis. Dengan begitu, mereka boleh dan mampu membangunkan yang tidur, mengingatkan yang lupa, dan menyadarkan yang lalai. Tanggung jawab itu terekam dalam Syair Nasihat karya Raja Ali Haji rahimahullah, yakni Tsamarat al-Muhimmah (1858). Saya kutip bait 41 saja.

Kehidupan rakyat janganlah lupa
Fakir miskin hina dan papa
Jangan sekali Tuan nan alpa
Akhirnya bala datang menerpa

Setelah menyadari begitu mustahaknya kehalusan budi dalam tamadun Melayu, saya berupaya sekuat dapat untuk menemukan rahasianya. Mengapakah orang Melayu begitu mengutamakan kehalusan budi? Tak terlalu lama, akhirnya saya peroleh dua sumber dari tulisan dua orang cendekiawan Melayu yang sangat arif lagi terkenal. Yang pertama, Bukhari al-Jauhari  dalam karya beliau Taj al-Salatin. Di antaranya beliau bertutur.

“… budi itu, karena ada ia pohon segala kebenaran, dan aku betapa dapat aku tinggal jauh dari budi itu dan tiada menurut padanya, karena ia ada terhampir pada Allah Taala dari sekalian yang ada…. Wujud manusia itu seperti suatu negeri yang makmur, dan raja negeri itu budi itulah, dan menterinya itu musyawarah, dan pesuruhnya lidah, dan suratnya itu kata(-kata)-nya. Maka daripada kelakuan pesuruh dan daripada peri katanya itu nyatalah peri rajanya dan kebajikan kerajaannya ….” (Al-Jauhari dalam Braginsky 1994).

Raja Ali Haji di dalam karya kamus ekabahasa beliau Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) memerikan budi itu bermakna ‘menegahkan’ yaitu “menegahkan yang mempunyai[nya] berpaling daripada jalan yang betul, tiada ia mau pada jalan yang tiada betul dan budi itu tabiat, perangai yang disediakan dengan dia memperdapat akan pengetahuan yang sukar-sukar seolah-olah ia cahaya yang terang di dalam hati tempatnya dan memancar cahayanya naik kepada otak dengan dialah boleh membezakan benar dengan salah, baik dengan jahat, maka mulialah orang yang dikurniai Allah Taala [akan] budi itu,” (Haji dalam Yunus (Ed.) 1986/1987, 216).

Dari kedua intelektual Melayu yang ternama itu, kita mengetahui bahwa budi merupakan maujud yang paling dekat dengan Allah dan menjadi sumber segala kebenaran. Karena budilah, manusia memperolehi kemuliaan. Di samping itu, budi itulah yang membentuk perangai atau perilaku sehingga konsep budi dan pekerti (perangai atau tabiat) tak terpisahkan.

Hal itu bermakna budi menuntun pekerti agar manusia berkelakuan baik. Sebaliknya pula, pekerti yang terlihat pada seseorang menunjukkan mutu budinya. Alhasil, kehalusan atau keluhuran budi yang bersepadu dengan pekerti menentukan kemuliaan manusia. Pada gilirannya, ianya memberikan kebahagiaan bagi sesiapa pun yang memilikinya. Jadi, manusia akan mendapatkan kebahagiaan sejati jika dia memiliki kehalusan budi. Jika tidak, seberapa banyak pun materi yang dimilikinya, seseorang anak manusia tak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya, ke mana pun dia berkelana, di mana pun dia bermastautin.

Dengan bekal pemahaman yang tak seberapa tentang budi dan peran pentingnya bagi kehidupan bangsa Melayu dan tamadunnya, saya mulai dan terus menerokanya. Hasilnya saya tuangkan dalam karya-karya saya selama ini, sama ada karya ilmiah ataupun karya kreatif  (esai, cerpen, dan puisi) tentang budaya Melayu meliputi bahasa, sastra, seni bina (arsitektur), pendidikan, kesenian, ragam hias, adat-istiadat, sejarah, dan sebagainya.

Dalam hampir setiap penelaahan itu saya lebih mengutamakan cara pandang dari kearifan Melayu sendiri, yakni menemukan seri pantai dan seri gunung aspek-aspek kebudayaan Melayu yang diamati. Dengan seri pantai saya maksudkan kebenaran, kebaikan, dan keindahan zahiriah, bentuk, unsur luaran, sesuai dengan derajat insaniahnya. Dalam pada itu, seri gunungnya berkaitan dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan batiniah, makna, unsur dalaman, berkelindan dengan derajat Ilahiahnya. Suatu karya yang bermutu menampilkan perhubungan yang sangat erat antara seri pantai dan seri gunungnya.

Kesemuanya itu mengajarkan saya bahwa kekuatan tamadun Melayu itu karena berteraskan kehalusan budi. Oleh sebab itu, nilai-nilai budaya Melayu tak terlalu mudah dicemari oleh sebarang anasir budaya asing yang negatif. Walaupun begitu, kita menyadari bahwa setakat ini cukup menggerunkan juga serbuannya.

Menurut hemat saya, nilai-nilai kehalusan budi berciri khas Melayu tak hanya mustahak bagi bangsa Melayu dalam menghadapi cabaran atau tantangan perubahan zaman. Selebihnya, ianya dapat ditawarkan kepada bangsa-bangsa di seluruh dunia. Bukankah sekarang masyarakat dunia sedang gencar-gencarnya mencari tiang seri baru untuk membina kembali bangunan moral yang kian roboh dengan derajat ketenatannya kian menyiksa?

Untuk itu, bangsa Melayu sendiri harus tetap konsisten dan konsekuen mengekalkan, mengembangkan, dan membina nilai-nilai kehalusan budi dalam tamadunnya. Itu bermakna, orang Melayu harus setia menerapkan nilai-nilai kehalusan budi dalam kehidupan mereka di mana pun mereka bermastautin. Pasalnya, kearifan Melayu juga mengajarkan bahwa kerajaan budi hanya akan berdiri kokoh dan tesergam di atas pondasi ketauladanan.

Akhirnya, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah begitu berjasa dalam menyokong karir saya, terutama sebagai penulis. Pertama, Dato’ Seri H. Rida K Liamsi, M.B.A. Beliaulah orang pertama yang memelawa (mengajak) dan menggesa saya untuk menulis di media massa ketika beliau memimpin Riau Pos Group di Pekanbaru, Riau. Atas gesaan itu saya mulai menulis di Harian Riau Pos dan Majalah Budaya Sagang yang beliau pimpin. Seterusnya, tulisan saya pun terbit di pelbagai media, baik cetak maupun daring (online).

Ketika kembali ke Kepulauan Riau, saya diminta pula oleh Saudara Candra Ibrahim, S.E. untuk mengisi “Kolom Budaya”, Harian Batam Pos. Sebelum itu, saya memang ada menulis di rubrik “Opini”, Batam Pos sekali-sekala. Kala itu Batam Pos Group juga dipimpin oleh Dato’ Seri H. Rida K Liamsi, M.B.A. Ruang khusus itu disediakan kepada saya sejak 2008 sampai dengan 2016.

Setelah itu, Saudara Ramon Damora menyediakan pula bagi saya kolom “Jemala” di “Jembia,” Tanjungpinang Pos Minggu. Aktivitas sebagai penulis “Kolom Jemala” saya tekuni sampai sekarang. Kita mengetahui bahwa Harian Tanjungpinang Pos juga merupakan binaan Dato’ Seri H. Rida K Liamsi, M.B.A.

Ketika kuliah Program Doktor (S3) di Universiti Pendidikan Sultan Idris, Perak, Malaysia dulu mentor saya adalah Tan Sri Datuk Wira Prof. Dr. Hj. Abdul Latiff Abu Bakar. Beliau begitu kuat menyokong saya untuk maju secara akademik dan dalam profesi sebagai penulis.

Saya dapat terus menulis dan berkhidmat dalam kegiatan kebudayaan karena sokongan penuh istri saya, Dra. Hj. Isnaini Leo Shanty, M.Pd. dan anak-anak kami. Tanpa dukungan mereka mungkin agak berat bagi saya untuk terus menulis sejak masih muda sampai setakat ini.

Kepada mereka semua, tak ada apa pun yang berharga dapat saya berikan. Oleh sebab itu, saya hanya mampu berucap:

Lipat tabir lipat baju
Lipat dua di dalam puan
Dari air menjadi batu
Takkan kulupa budimu Tuan

(Kolom “Jemala” kali ini merupakan Pidato Sambutan sebagai penerima Anugerah Jembia Emas 2018 yang saya sampaikan pada Kamis malam, 29 November 2018, di Kompleks Purna MTQ, Teluk Bakau, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau). Kepada Yayasan Jembia Emas dan sidang pembaca yang menyokong saya selama ini, saya ucapkan terima kasih. Anugerah berharga ini untuk kita semua. Tahniah, Jembia Emas dan jayalah tamadun bangsa kita untuk kemajuan peradaban dunia!***