Kolom Budaya

MEMBETULKAN DUNIA MEMBAHAGIAKAN AKHIRAT

MEMBETULKAN DUNIA MEMBAHAGIAKAN AKHIRAT

Dr. H. Abdul Malik, M.Pd.

JATUH-BANGUNNYA sesebuah negara dan atau negeri sangat bergantung kepada kepiawaian penyelenggaranya. Negara dan atau negeri yang dipimpin oleh pemimpin yang berkualitas akan berjaya, mudah mencapai kesejahteraan dan kemakmurannya, sedangkan pemimpin yang buruk perangai hanya menjadikan kemakmuran sebagai slogan belaka. Bukannya makmur dan sejahtera yang diperoleh, malah rakyat tak henti-hentinya dirundung derita dalam pelbagai bentuk rupanya. Oleh sebab itu, pemimpin negeri atau penyelenggara negara haruslah orang yang memenuhi syarat: bersifat dan berperilaku terpuji dalam arti yang sebenarnya.

Untuk menutup Gurindam Dua Belas (GDB), Raja Ali Haji rahimahullah (RAH) bertutur tentang peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitulah Pasal yang Kedua Belas ini menukik ke persoalan akhlak, muamalah, sekaligus ditutup dengan akidah, terutama yang berkaitan dengan penyelenggara negara dan atau pemimpin negeri. Akan datang inilah perian lengkapnya.

Bait 1 dimulai dengan, “Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagar duri.” Sentuhan piawainya sungguh memesona dan kebenarannya pula siapakah yang mampu menolaknya? Apakah tanda penyelenggaraan negara atau pemimpin negeri yang baik? Pada mulanya, pemimpin negeri itu (apa pun sebutannya untuk setiap pergantian pemerintahan sesuai dengan semangat zamannya, yang di dalam GDB disebut raja) dan para penolongnya (apa jugalah sebutannya, GDB menyebutnya menteri) senantiasa seiya-sekata, seaib-semalu, dan senasib-sepenanggungan (mufakat) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Matlamatnya tiada lain agar penyelenggaraan negara atau pentadbiran negeri dapat berlangsung dengan baik sehingga mendatangkan kemakmuran bagi negeri dan kesejahteraan bagi rakyat.

Alhasil, negara atau negeri terkawal dengan baik, tak sesiapa penceroboh pun berani menyusupinya, apatah lagi memorakporandakannya. Pasalnya, negara atau negeri telah “seperti kebun berpagar duri.” Perhubungan antara pemimpin dan bawahannya bagai kulit dengan isi, begitu sanggam, begitu serasi, begitu sebati, begitu mesra, dan saling menjaga. Bukan sebaliknya, di antara mereka berlumba-lumba untuk bantah-membantah, bantai-membantai, atau malu-memalukan untuk kepentingan pragmatis sesaat dan terkesan kampungan.

Kejayaan kepemimpinan menuntut seseorang pemimpin agar mampu memilih para bawahannya dan atau pembantunya dengan sebaik-baiknya. Tak hanya kecerdasan intelektualnya yang dipertimbangkan, tetapi juga kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan lebih-lebih kecerdasan spiritual. Para bawahan yang berkecerdasan komprehensif seperti itulah yang sanggup menjayakan sekaligus menyelamatkan pemimpin dan kepemimpinannya. Para penyelenggara negara atau pemimpin negeri dan para bawahan yang memiliki semangat tim yang terpadu serasilah yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya terjulang membahana.

“Dan, bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya,” (Q.S. Ali ‘Imran:159).

Firman Allah di atas merupakan salah satu rujukan GDB Pasal yang Kedua Belas, bait 1. RAH, seperti pada bait-bait sebelumnya, menggunakan rujukan yang sangat sahih lagi pasti kebenarannya untuk mendukung amanat yang hendak disampaikan beliau.

Itu tadi bait 1 dan inilah pula bait 2-nya, “Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja.” Inilah kunci kedua dalam penyelenggaraan negara atau negeri yang baik. Bawahan dan rakyat sekaliannya tak boleh berprasangka buruk kepada pemimpin. Tentulah syaratnya sang pemimpin pun harus mampu menunjukkan kinerja kepemimpinan yang baik dan bersih, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Konsekuensinya, sang pemimpin tak boleh berpaling tadah dari garis kepemimpinan yang benar, dia tak boleh menyalah.

Dalam keadaan sang pemimpin berada pada jalan yang lurus dan para bawahan serta rakyat berprasangka baik terhadap pemimpinnya, karena memang tak ada alasan yang sabit di akal untuk mencurigainya, kesemua program kerja yang telah direncanakan akan dapat dilaksanakan dengan baik, “tanda jadi sebarang kerja.” Alhasil, penyelenggaraan negara atau pentadbiran negeri pun dapat berlangsung dengan aman dan damai. Pada gilirannya, kesemua matlamat yang hendak dituju tak terlalu sukar untuk diraih. Bawahan dan rakyat dengan kualitas seperti itulah yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya terjulang tiada bercela.

“Hai, orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil-amri (yang menguasai pemerintahan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (Q.S. An-Nisaa’:59).

Ternyata, tuntunan Allah yang dikutip di atas menjadi pedoman bait 2 GDB. Jelaslah bahwa amanat GDB itu tak dapat dipisahkan dengan ajaran syariat Islam.

Kualitas sekaligus ujian utama kepemimpinan ialah mampu berlaku adil. Pemimpin, sesuai dengan kapasitasnya, berhak atas keadilan. Bawahan juga memiliki hak yang sama. Tanpa harus dibedakan, rakyat pun harus diperlakukan secara adil. Pemimpin yang mampu berlaku adil sama ada kepada dirinya, kepada bawahannya, ataupun kepada rakyatnya berarti memiliki kualitas dan lulus ujian kepemimpinan yang baik. Apa kata GDB Pasal yang Kedua Belas, bait 3 tentang hal itu? “Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat.” Bait 3 ini sejalan dengan petunjuk Allah:

“Sesungguhnya, Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran,” (Q.S. An-Nahl:90).

Pemimpin yang adil akan diterangi cahaya Ilahi dalam kepemimpinannya. Seberat apa pun masalah yang dihadapinya, akan dapat dihadapi dan diatasinya dengan baik. Dia tak akan tergopoh-gopoh jika menghadapi persoalan. Pasal apa? Dia senantiasa mendapatkan pertolongan (inayat) dari Allah. Akhirnya, dia akan keluar sebagai pemenang dengan pertolongan: bukan dari sebarang orang, melainkan dari Tuhan Yang Maha Penolong. Dia memperoleh kenikmatan kepemimpinan yang tiada bertara. Dari keningnya memancar seri cahaya kewibawaan yang membuat semua orang menaruh hormat kepadanya, tanpa dipaksakan. Dialah pemimpin yang tak seorang jua pun kuasa menolaknya, menampiknya, bahkan iblis pun ngeri bersua dengannya. Dialah pemimpin, pemimpin yang adil, yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya dijulangkan oleh Allah.

Lalu, GDB Pasal yang Kedua Belas dilanjutkan dengan bait 4, “Kasihkan orang berilmu, tanda rahmat atas dirimu.” Bagaimanakah kita memahami bait ini? Pertama, pemimpin itu sendiri hendaklah dicari dari orang yang berilmu. Hanya orang berilmu yang benar dan baiklah yang berpotensi menjadi pemimpin yang baik. Tugas kepemimpinan memang memerlukan pemecahan dan pencerahan yang mesti didasari oleh kadar ilmu tertentu. Kedua, pemimpin pun seyogianya menyayangi orang berilmu. Dia tak segan-segan meminta bantuan, berkonsultasi, dan bertukar pikiran dengan orang berilmu untuk menyelesaikan masalah dalam kepemimpinannya. Dia, bahkan, akan berupaya meningkatkan kuantitas dan kualitas orang berilmu di wilayah kekuasaannya. Kesemuanya dilakukannya sebab dia menyadari bahwa dengan begitulah kepemimpinannya akan mendapat rahmat dari Allah. Bukankah hanya kepemimpinan yang dirahmati Allah yang akan berjaya? Dialah pemimpin yang boleh dibilangkan nama, yang jati dirinya pun terjulang dengan sendirinya.

“Dan, Kami tak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tak mengetahui,” (Q.S. An-Nahl:43).

Pemimpin yang cerdas komprehensif, yang mampu mengimplementasikan kecerdasannya untuk mewujudkan kepemimpinan yang benar, patutlah dihormati. Segala anugerah kepandaian dan kemahiran yang dimilikinya digunakannya untuk memajukan negeri dan menyejahterakan rakyatnya. Tak ada alasan, bahkan berdosa, untuk menolak pemimpin dengan kualitas yang baik ini. “Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai,” demikian GDB Pasal yang Kedua Belas, bait 5 berperi tentang orang yang pandai atau cerdas.

Sebaliknya pula, pemimpin pun haruslah hormat kepada orang-orang yang cerdas. Tak boleh terjadi, justeru, cerdik-pandai dimusuhi karena khawatir akan menjadi pesaing dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang cerdas akan menjadikan cerdik-pandai sebagai kawan (mitra) dalam kepemimpinannya sehingga matlamat kesejahteraan dan kemakmuran dapat diraih dengan mudah dan cepat. Pemimpin seperti itu mampu membedakan yang buruk dengan yang baik, dia “mengenal kasa [kain yang kasar, murah] dan cindai [sutera halus, mahal]”. Jadilah dia pemimpin yang boleh dibilangkan nama, jati dirinya pun tak sesiapa pun yang kuasa menggugatnya.

“Nescaya, Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (Q.S. Al-Mujaadilah:11).

Hikmah yang dapat kita petik dari firman Allah di atas adalah ini. Bahkan, Allah saja memberikan keutamaan kepada orang-orang yang beriman dan berilmu dengan dianugerahkan-Nya ketinggian derajat, apatah lagi seyogianya manusia. Terlalu angkuhlah manusia yang tak menaruh hormat kepada sesuatu yang ditinggikan oleh Tuhan Yang Mahatinggi.
“Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti.” GDB Pasal yang Kedua Belas, bait 6, ini mengingatkan bahwa apa pun bakti yang dilakukan di dunia ini, tak hanya berguna semasa kita hidup di alam fana ini, tetapi lebih-lebih itulah yang akan dibawa mati. Kerja-kerja luhur kepemimpinan mestinya dijadikan bekal berharga untuk kehidupan sesudah mati. Kalau hal itu disadari, tak ada alasan untuk melencongkan misi kepemimpinan. Kualitas ini pun harus dimiliki oleh pemimpin yang hendak dibilangkan nama, yang mendambakan keterjulangan jati dirinya.

Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,” Tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya,” (H.R. Muslim).

Bakti kepemimpinan semestinya dihalakan kepada matlamat utama mengharapkan rida Allah. Pasalnya, seperti yang dikemukakan oleh Baginda Rasulullah s.a.w. di dalam hadits di atas, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya sampai pada kehidupannya setelah mati. Hadits itu juga membenarkan amanat RAH di dalam bait 6 GDB di atas.

Sejak awal kehidupan di dunia manusia seyogianya menyadari bahwa dia wajib mengenal akidah, melaksanakan ibadah, memelihara akhlak, dan menjalankan muamalah untuk bekal kehidupannya di dunia dan di akhirat. Hanya dengan melaksanakan kesemuanya itu dengan penuh tanggung jawablah kebahagiaan sejati akan diperoleh. Pilihannya terpulang kepada kita. Akan tetapi, GDB diakhiri dengan Pasal yang Kedua Belas , bait 7, “Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.”

Pelajaran apakah yang dapat dipetik dari GDB pasal yang terakhir dan bait yang juga terakhir itu? RAH berpesan bahwa merawat hati agar tak menjadi buta adalah tugas utama. Hal itu disebabkan oleh semua perbuatan di dunia harus dipertanggungjawabkan di akhirat. Dan, itu pasti! Begitu jugalah halnya dengan kepemimpinan. Ia tak hanya selesai di dunia, tetapi lebih-lebih harus dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat. Apakah rujukan RAH untuk menyampaikan amanat mulia tersebut? Inilah di antara rujukan itu.

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah s.a.w., “Setiap orang yang menjadi pemimpin bagi sepuluh orang, maka dia akan didatangkan esok pada Hari Kiamat dalam keadaan terbelenggu sampai dia dilepaskan oleh keadilannya atau dihancurkan oleh kesewenang-wenangannya,” (H.R. Al-Bazaar).

Intinya, tanggung jawab kepemimpinan tak hanya selesai di dunia. Ianya harus dipertanggungjawabkan sampai ke akhirat, setelah kita mati, bahkan sampai pada Hari Kiamat, yang ganjaran atau balasannya tak ada pembandingnya di dunia. Kenyataan itulah yang diharapkan oleh Raja Ali Haji rahimahullah, sang penulis karya agung Gurindam Dua Belas, untuk dipahami, disadari, dan diinsyafi oleh semua orang. Mampukah kita menjadi orang yang boleh dibilangkan nama dalam kaitannya dengan amanah kepemimpinan? Jika jawabnya ya, maka itulah ciri-ciri orang yang jati dirinya pasti akan terjulang. Akan tetapi, jika jawabnya tidak—kendatipun disangkal dengan ya di dunia—maka bersiap-siap sajalah untuk didera di akhirat, yang kekal selama-lamanya.@