Memanfaatkan Media Massa untuk Pengembangan SDM

Oleh: Trisno Aji Putra, M.Pd

Pengajar Jurnalistik di FKIP UMRAH

Tantangan terbesar bagi dunia jurnalisme saat ini adalah bagaimana menjadikan media sebagai alat untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat.Jurnalisme bukanlah dunia yang berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan nafas dan denyut nadi kehidupan masyarakat.Karena itu, setiap kerja-kerja jurnalistik juga harus mengacu pada upaya ikut mendorong kesejahteraan masyarakat, dengan tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah dan etika jurnalistik.

Berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 3 disebutkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,dan kontrol sosial.Namun sudahkah keempat fungsi ini berjalan dengan semestinya?

Saat ini, ketika membuka televisi, membaca koran atau melihat situs berita online di internet, kita dengan mudah menemukan tiga dari empat fungsi pers tersebut, yakni sebagai media pemberi informasi, hiburan dan kontrol sosial yang ketat terhadap jalannya pemerintahan. Namun demikian, satu fungsi yang jarang kita temukan di televisi, koran, atau media online adalah bagaimana pers berperan besar untuk menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat.

Pada titik inilah, kita akan berbicara lebih jauh tentang problematika ini. Dulu, di tahun 1990-an, kita masih memiliki Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).Tayangan televisi ini masih menyajikan sejumlah rumus pelajaran rumpun IPA bagi siswa SD sampai SMA, juga menyajikan tentang sejumlah pelajaran di rumpun ilmu IPS dan budaya.Namun stasiun televisi ini tidak bertahan lama dan mengubah bentuknya menjadi televisi yang menonjolkan nilai hiburan lebih kental.Rumus-rumus fisika dan matematika pun berganti dengan tayangan lagu dangdut.Hingga kemudian, stasiun ini diakusisi oleh salah satu kelompok usaha media yang besar dan diubah menjadi MNC TV.

Demikian juga ketika kita membuka lembaran-lembaran koran saat ini, atau berselancar di situs-situs berita online. Porsi liputan yang bernuansa pendidikan menjadi sedemikian kecil, kalah jauh dibanding porsi liputan hiburan, informatif, dan kontrol sosial.

Sejumlah analis media kemudian melihat fenomena ini sebagai bentuk realistis dari perubahan konsep manajemen media.Ketika media sudah menjadi industri, lebih tepatnya industri media, maka media cetak, elektronik, sampai online pun tunduk pada hukum pasar.Rating, oplagh, dan viewer menjadi acuan utama untuk membuat program liputan.Karena itu, dari mulai saat prime time hingga waktu tayang biasa di stasiun televisi, dominasi tayangan hiburan begitu banyak, mengingat memang tayangan jenis inilah yang menunjukan rating yang tinggi.Demikian juga dengan sajian liputan berita di media cetak, porsi informasi, hiburan, dan kontrol sosial menjadi sangat besar dan mendominasi hampir seluruh halaman. Karena itu, lebih mudah kita mencari berita soal konflik politik di DPR RI atau pejabat tersandung korupsi dari pada berita bagaimana cara beternak ikan lele, bagaimana cara mengembangkan budidaya kerapu dan lain sebagainya.

Pada titik inilah, kita mulai melakukan tinjauan kritis yang mendasar, tentang bagaimana peran media dalam membangun sumber daya manusia (SDM).Padahal, sebagai sebuah bangsa yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang kuat di segala bidang.Proses penguatan sumber daya manusia itu, salah satunya adalah melalui jalur pendidikan. Tujuan pendidikan tentunya tidak lain bisa memproduksi SDM yang handal di segala bidang, yang akan menjadi penopang untuk membangun Indonesia menjadi negara maju dan mandiri. Tentunya, pada titik ini, seandainya jurnalisme bisa menjalankan keempat fungsinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers tersebut, sudah tentu jurnalisme akan ikut memainkan peran besar dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia.

Memahami Kekuatan Media Massa

Pada kajian ini, kita akan memulai dengan sebuah pertanyaan mendasar, yakni mengapa kita membutuhkan media untuk membangun SDM di Indonesia?Mengapa kita tidak mengacuhkan saja kehadiran media, dan membiarkan kita masing-masing bekerja keras untuk melakukan pengembangan SDM secara sendiri-sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu sangat menggelitik untuk kita cari tahu jawabannya.Sebab, sesunggungnya media itu sendiri bukanlah sebuah sekolah, apalagi universitas atau lembaga riset.Media, secara sederhana hanyalah sebagai alat penyampai informasi. Proses kerja media itu bisa digambarkan sebagai berikut:

Proses kerja media ini bisa digambarkan bahwa ada reporter yang hendak menyampaikan informasi kepada publik. Namun karena publik jumlahnya sangat banyak dan tersebar di wilayah yang berbeda-beda, sementara informasi harus disampaikan secara cepat dan tepat, maka reporter kemudian menggunakan media sebagai alat perantara penyampaian pesan tersebut.Seiring dengan perkembangan teknologi bidang informasi dan komunikasi, maka media yang digunakan tidak sekadar media cetak semata, namun juga meliputi media elektronik dan online.Inilah yang disebut sebagai proses kerja jurnalistik.

Namun dalam perkembangannya, jurnalisme kemudian berubah menjadi rumit, tidak sesederhana penjelasan di atas.Masuknya pemodal-pemodal besar dan kelompok kepentingan tertentu telah membuat jurnalisme tidak sekadar sebagai alat penyampai informasi dari reporter kepada publik semata, melainkan jauh lebih dari itu.

Bila kita melihat fenomena dunia jurnalistik kita di masa pemilihan presiden Republik Indonesia (RI) tahun 2014, atau beberapa bulan lalu, maka kita akan melihat sedikitnya ada dua kubu besar dalam pemberitaan. Dua stasiun televisi berita di Indonesia berada di dua kubu yang berlawanan.Mengapa hal ini terjadi, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran pemilik dua stasiun televisi berita tersebut, yang masing-masing berada dalam kekuatan dua partai politik yang mendukung calon yang berbeda.Maka yang kemudian terjadi adalah, pemberitaan televisi digunakan sebagai media kampanye dari dua kubu calon presiden tersebut.Tentu dalam hal ini, kita tidak bisa menjustifikasi bahwa seluruh kru media tersebut sudah berada dalam dua kubu yang berbeda.Masih banyak kita temukan jurnalis-jurnalis yang tetap menjaga integritas dan semangat untuk membela kepentingan publik, bukan kepentingan pemilik media.

Nah, sampai pada titik ini, tentu kita bertanya, mengapa media massa dipilih sebagai alat propaganda dan membangun pencitraan bagi kandidat presiden atau politisi tertentu? Seberapa dahsyat kah kekuatan media.

Dalam teori agenda setting yang dijelaskan oleh  Maxwell Mc.Comb dan Donal Shaw.  dijabarkan bahwa: “jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.”

Karena itu, pembicaraan masyarakat kita dri mulai di kedai kopi sampai di ruang tamu keluarga juga tidak jauh-jauh seputar dari apa yang diberitakan oleh media, baik televisi, koran, atau media online. Ini juga menjadi jelas bagi kita untuk memaparkan tentang fenomena korupsi.Mengapa saat ini semua orang sangat fasih berbicara soal korupsi, dari mulai di ruang kuliah sampai di kedai kopi, bahkan di ruang keluarga.Tentu jawabannya karena media terus menerus memberitakan seputar banyak hal tentang korupsi.

Hal ini masih diperkuat oleh pendapat dari Noelle Neumann tentang teori Spiral of silence (spiral kebisuan). Teori ini berpendapat bahwa media memiliki efek yang sangat kuat dalam membentuk opini publik. Orang yang berpandangan berbeda akan cenderung untuk diam (silence). Karena itu, bila di antara anggota masyarakat ada yang tidak terlalu suka dengan apa yang telah ditayangkan oleh televisi, maka mereka akan cenderung memilih untuk diam dan tidak melakukan counter opini.

Memanfaatkan Kekuatan Media untuk Membangun SDM

Nah, dengan pemaparan seperti di atas, saat ini kita akan memahami bahwa sesungguhnya media massa adalah seperti pisau bermata dua. Ia akan menjadi kekuatan yang mendorong perbaikan di masyarakat, namun pada sisi lain, ia juga bisa menjadi sebaliknya, yakni  kekuatan yang melemahkan masyarakat Indonesia.

Pada titik inilah kita perlu menaruh harapan besar terhadap media, mengingat kekuatan besar yang mereka miliki dalam menggerakkan opini masyarakat.

Mari kita saat ini membayangkan begini: media-media di Indonesia, dari mulai media cetak, online, sampai elektronik, ramai-ramai membicarakan dan meliput soal pendidikan dan pentingnya peningkatan kualitas SDM untuk memajukan negeri ini. Maka dalam hitungan beberapa bulan, kita akan melihat bahwa pendidikan dan SDM akan dianggap bagian yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Lalu setelah itu, para pengambil kebijakan pun merumuskan langkah-langkah strategis untuk memajukan dan memecahkan sejumlah problem dalam dunia pendidikan, dan pada sisi lain masyarakat akan mendukung penuh kebijakan tersebut. Maka, dalam hitungan beberapa tahun ke depan, kita akan mendapati bahwa wajah dunia pendidikan kita menjadi lebih baik, dan hal inilah yang pada akhirnya akan mengantarkan bangsa ini bisa memperoleh SDM-SDM yang berkualitas untuk menopang proses pembangunan.

Memanfaatkan Media Massa untuk Pengembangan SDM

Oleh: Trisno Aji Putra, M.Pd

Pengajar Jurnalistik di FKIP UMRAH

 

Tantangan terbesar bagi dunia jurnalisme saat ini adalah bagaimana menjadikan media sebagai alat untuk mendukung terwujudnya kesejahteraan masyarakat.Jurnalisme bukanlah dunia yang berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan nafas dan denyut nadi kehidupan masyarakat.Karena itu, setiap kerja jurnalistik juga harus mengacu pada upaya ikut mendorong kesejahteraan masyarakat, dengan tetap berlandaskan pada kaidah-kaidah dan etika jurnalistik.

Berdasarkan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 3 disebutkan bahwa pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan,dan kontrol sosial.Namun sudahkah keempat fungsi ini berjalan dengan semestinya?

Saat ini, ketika membuka televisi, membaca koran atau melihat situs berita online di internet, kita dengan mudah menemukan tiga dari empat fungsi pers tersebut, yakni sebagai media pemberi informasi, hiburan dan kontrol sosial yang ketat terhadap jalannya pemerintahan. Namun demikian, satu fungsi yang jarang kita temukan di televisi, koran, atau media online adalah bagaimana pers berperan besar untuk menjadi wahana pendidikan bagi masyarakat.

Pada titik inilah, kita akan berbicara lebih jauh tentang problematika ini. Dulu, di tahun 1990-an, kita masih memiliki Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).Tayangan televisi ini masih menyajikan sejumlah rumus pelajaran rumpun IPA bagi siswa SD sampai SMA, juga menyajikan tentang sejumlah pelajaran di rumpun ilmu IPS dan budaya.Namun stasiun televisi ini tidak bertahan lama dan mengubah bentuknya menjadi televisi yang menonjolkan nilai hiburan lebih kental.Rumus-rumus fisika dan matematika pun berganti dengan tayangan lagu dangdut.Hingga kemudian, stasiun ini diakusisi oleh salah satu kelompok usaha media yang besar dan diubah menjadi MNC TV.

Demikian juga ketika kita membuka lembaran-lembaran koran saat ini, atau berselancar di situs-situs berita online. Porsi liputan yang bernuansa pendidikan menjadi sedemikian kecil, kalah jauh dibanding porsi liputan hiburan, informatif, dan kontrol sosial.

Sejumlah analis media kemudian melihat fenomena ini sebagai bentuk realistis dari perubahan konsep manajemen media.Ketika media sudah menjadi industri, lebih tepatnya industri media, maka media cetak, elektronik, sampai online pun tunduk pada hukum pasar.Rating, oplagh, dan viewer menjadi acuan utama untuk membuat program liputan.Karena itu, dari mulai saat prime time hingga waktu tayang biasa di stasiun televisi, dominasi tayangan hiburan begitu banyak, mengingat memang tayangan jenis inilah yang menunjukan rating yang tinggi.Demikian juga dengan sajian liputan berita di media cetak, porsi informasi, hiburan, dan kontrol sosial menjadi sangat besar dan mendominasi hampir seluruh halaman. Karena itu, lebih mudah kita mencari berita soal konflik politik di DPR RI atau pejabat tersandung korupsi dari pada berita bagaimana cara beternak ikan lele, bagaimana cara mengembangkan budidaya kerapu dan lain sebagainya.

Pada titik inilah, kita mulai melakukan tinjauan kritis yang mendasar, tentang bagaimana peran media dalam membangun sumber daya manusia (SDM).Padahal, sebagai sebuah bangsa yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang kuat di segala bidang.Proses penguatan sumber daya manusia itu, salah satunya adalah melalui jalur pendidikan. Tujuan pendidikan tentunya tidak lain bisa memproduksi SDM yang handal di segala bidang, yang akan menjadi penopang untuk membangun Indonesia menjadi negara maju dan mandiri. Tentunya, pada titik ini, seandainya jurnalisme bisa menjalankan keempat fungsinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers tersebut, sudah tentu jurnalisme akan ikut memainkan peran besar dalam meningkatkan kualitas SDM di Indonesia.

Memahami Kekuatan Media Massa

Pada kajian ini, kita akan memulai dengan sebuah pertanyaan mendasar, yakni mengapa kita membutuhkan media untuk membangun SDM di Indonesia?Mengapa kita tidak mengacuhkan saja kehadiran media, dan membiarkan kita masing-masing bekerja keras untuk melakukan pengembangan SDM secara sendiri-sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu sangat menggelitik untuk kita cari tahu jawabannya.Sebab, sesunggungnya media itu sendiri bukanlah sebuah sekolah, apalagi universitas atau lembaga riset.Media, secara sederhana hanyalah sebagai alat penyampai informasi. Proses kerja media itu bisa digambarkan sebagai berikut:

Proses kerja media ini bisa digambarkan bahwa ada reporter yang hendak menyampaikan informasi kepada publik. Namun karena publik jumlahnya sangat banyak dan tersebar di wilayah yang berbeda-beda, sementara informasi harus disampaikan secara cepat dan tepat, maka reporter kemudian menggunakan media sebagai alat perantara penyampaian pesan tersebut.Seiring dengan perkembangan teknologi bidang informasi dan komunikasi, maka media yang digunakan tidak sekadar media cetak semata, namun juga meliputi media elektronik dan online.Inilah yang disebut sebagai proses kerja jurnalistik.

Namun dalam perkembangannya, jurnalisme kemudian berubah menjadi rumit, tidak sesederhana penjelasan di atas.Masuknya pemodal-pemodal besar dan kelompok kepentingan tertentu telah membuat jurnalisme tidak sekadar sebagai alat penyampai informasi dari reporter kepada publik semata, melainkan jauh lebih dari itu.

Bila kita melihat fenomena dunia jurnalistik kita di masa pemilihan presiden Republik Indonesia (RI) tahun 2014, atau beberapa bulan lalu, maka kita akan melihat sedikitnya ada dua kubu besar dalam pemberitaan. Dua stasiun televisi berita di Indonesia berada di dua kubu yang berlawanan.Mengapa hal ini terjadi, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran pemilik dua stasiun televisi berita tersebut, yang masing-masing berada dalam kekuatan dua partai politik yang mendukung calon yang berbeda.Maka yang kemudian terjadi adalah, pemberitaan televisi digunakan sebagai media kampanye dari dua kubu calon presiden tersebut.Tentu dalam hal ini, kita tidak bisa menjustifikasi bahwa seluruh kru media tersebut sudah berada dalam dua kubu yang berbeda.Masih banyak kita temukan jurnalis-jurnalis yang tetap menjaga integritas dan semangat untuk membela kepentingan publik, bukan kepentingan pemilik media.

Nah, sampai pada titik ini, tentu kita bertanya, mengapa media massa dipilih sebagai alat propaganda dan membangun pencitraan bagi kandidat presiden atau politisi tertentu? Seberapa dahsyat kah kekuatan media.

Dalam teori agenda setting yang dijelaskan oleh  Maxwell Mc.Comb dan Donal Shaw.  dijabarkan bahwa: “jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka media itu akan mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting.”

Karena itu, pembicaraan masyarakat kita dri mulai di kedai kopi sampai di ruang tamu keluarga juga tidak jauh-jauh seputar dari apa yang diberitakan oleh media, baik televisi, koran, atau media online. Ini juga menjadi jelas bagi kita untuk memaparkan tentang fenomena korupsi.Mengapa saat ini semua orang sangat fasih berbicara soal korupsi, dari mulai di ruang kuliah sampai di kedai kopi, bahkan di ruang keluarga.Tentu jawabannya karena media terus menerus memberitakan seputar banyak hal tentang korupsi.

Hal ini masih diperkuat oleh pendapat dari Noelle Neumann tentang teori Spiral of silence (spiral kebisuan). Teori ini berpendapat bahwa media memiliki efek yang sangat kuat dalam membentuk opini publik. Orang yang berpandangan berbeda akan cenderung untuk diam (silence). Karena itu, bila di antara anggota masyarakat ada yang tidak terlalu suka dengan apa yang telah ditayangkan oleh televisi, maka mereka akan cenderung memilih untuk diam dan tidak melakukan counter opini.

 

Memanfaatkan Kekuatan Media untuk Membangun SDM

Nah, dengan pemaparan seperti di atas, saat ini kita akan memahami bahwa sesungguhnya media massa adalah seperti pisau bermata dua. Ia akan menjadi kekuatan yang mendorong perbaikan di masyarakat, namun pada sisi lain, ia juga bisa menjadi sebaliknya, yakni  kekuatan yang melemahkan masyarakat Indonesia.

Pada titik inilah kita perlu menaruh harapan besar terhadap media, mengingat kekuatan besar yang mereka miliki dalam menggerakkan opini masyarakat.

Mari kita saat ini membayangkan begini: media-media di Indonesia, dari mulai media cetak, online, sampai elektronik, ramai-ramai membicarakan dan meliput soal pendidikan dan pentingnya peningkatan kualitas SDM untuk memajukan negeri ini. Maka dalam hitungan beberapa bulan, kita akan melihat bahwa pendidikan dan SDM akan dianggap bagian yang sangat penting dalam kehidupan bangsa Indonesia. Lalu setelah itu, para pengambil kebijakan pun merumuskan langkah-langkah strategis untuk memajukan dan memecahkan sejumlah problem dalam dunia pendidikan, dan pada sisi lain masyarakat akan mendukung penuh kebijakan tersebut. Maka, dalam hitungan beberapa tahun ke depan, kita akan mendapati bahwa wajah dunia pendidikan kita menjadi lebih baik, dan hal inilah yang pada akhirnya akan mengantarkan bangsa ini bisa memperoleh SDM-SDM yang berkualitas untuk menopang proses pembangunan.